Senin, 20 Juli 2009
Sejarah SepakBola Indonesia
Alamat: Main Stadium Gelora Bung Karno Gate X-XI Senayan Indonesia
Telpon: (62) 21 570 4762
Ketua: Drs. H.A.M Nurdin Halid
Direktur: Nugraha Besoes, SE (General Secretary)
Stadion: Gelora Bung Karno
Sejarah
Indonesia, Macan Asia Yang Tertidur
Pernah disegani di kawasan Asia, kini sepakbola Indonesia tertidur pulas.
Oleh Agung Harsya
Seiring semangat kebangsaan yang tercetus dasawarsa 1920-an, Ir. Soeratin Sosrosoegondo mendirikan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) untuk mewadahi kegiatan sepakbola di nusantara sekaligus menjadi salah satu alat perjuangan bangsa. Tanpa inisiatif tersebut, sepakbola Indonesia tidak pernah dikenal di zaman kolonialisasi karena terkotak-kotak ke dalam berbagai bond sepakbola lokal.
PSSI mulai dikhawatirkan pemerintah kolonial Hindia Belanda. Sebagai bentuk upaya menandingi kekuatan PSSI, didirikan Nederlandsh Indische Voetbal Unie (NIVU) pada 1936. Menjelang Piala Dunia Prancis 1938, dibuatlah perjanjian antara kedua pihak untuk mengirim tim perwakilan. Namun, karena tidak menghendaki bendera yang dipakai tim, Soeratin membatalkan secara sepihak perjanjian tersebut. NIVU tetap mengirimkan tim ke Prancis dengan bendera Hindia Belanda. Tim tersebut adalah perwakilan Asia pertama sepanjang sejarah Piala Dunia.
Jejak Indonesia sebagai salah satu tim yang disegani di kawasan Asia pun dimulai.
Sepakbola Indonesia memasuki periode keemasan disertai dengan sederetan pemain legendaris Merah-Putih lahir pasca-kemerdekaan, seperti antara lain Ramang, Maulwi Saelan, Suardi Arland, dan Tan Liong Houw. Pada periode yang sama, Indonesia dilatih pelatih legendaris asal Yugoslavia, Tony Pogacnik.
Nama Indonesia mulai diperhitungkan di kawasan Asia. Merah-Putih sukses menembus semi-final Asian Games Manila 1954, namun kalah 4-2 dari Taiwan. Pada partai perebutan medali perunggu, Indonesia dikalahkan Burma (sekarang Myanmar) 3-2.
Pada Olimpiade Melbourne 1956, Indonesia juga mengirimkan tim sepakbola. Di babak perempat-final, Indonesia langsung menghadapi favorit juara Uni Soviet. Setelah sempat menahan imbang 0-0, Indonesia takluk 4-0 pada partai ulangan hari berikutnya. Prestasi ini kemudian selalu disebut-sebut sebagai sejarah tertinggi sepakbola Indonesia.
Di kancah Asian Games dua tahun berikutnya di Tokyo, Indonesia kembali gugur di babak semi-final dari lawan yang sama. Kali ini Taiwan lolos ke final setelah memenangkan pertarungan 1-0. Namun, Indonesia sukses membungkus medali perunggu dengan melibas India 4-1.
Kesempatan terbaik untuk meraih medali emas muncul empat tahun kemudian ketika Asian Games digelar di Jakarta. Persiapan dilakukan dengan menyiapkan dua timnas -- satu terdiri dari pemain senior dan satu lagi dari para pemain muda. Sayangnya, ketika semangat mulai terbangun, timnas dihantam Skandal Senayan. Beberapa pemain diduga tersangkut penyuapan oleh bandar judi. Kekuatan Indonesia berkurang dan cabang sepakbola gagal total saat berlaga.
Indonesia sebenarnya juga berpeluang menembus kualifikasi Piala Dunia 1962. Setelah melewati hadangan Cina, Indonesia harus melewati Israel -- lawan yang sedang diboikot negara-negara Arab, termasuk Indonesia. Masalah politik terpaksa membendung ambisi masyarakat menyaksikan bendera Indonesia berkibar di Piala Dunia.
Hegemoni sepakbola Indonesia mulai beralih ke kawasan Asia Tenggara. Sebelum berpartisipasi dalam SEA Games 1977, Indonesia kerap berlaga di turnamen antarnegara, seperti Merdeka Games Malaysia, Piala Raja Thailand, Piala Aga Khan Bangladesh, atau President Cup Korea Selatan.
Setelah turun di pesta sepakbola Asia Tenggara itu, Indonesia harus menunggu sepuluh tahun sebelum meraih medali emas. Gol tunggal Ribut Waidi ke gawang Malaysia pada babak pertama di Senayan mengukuhkan nama Indonesia sebagai raja Asia Tenggara.
Setahun sebelumnya, Indonesia mengukir kejutan di Asian Games Seoul. Di bawah asuhan pelatih Bertje Matulapelwa, Indonesia meraih tempat keempat. Prestasi yang cukup menggembirakan itu ditambah ketika Sinyo Aliandoe mampu membawa Indonesia selangkah lebih dekat ke Piala Dunia 1986. Namun, Merah-Putih kalah tangguh dibandingkan Korea Selatan -- yang akhirnya lolos ke Meksiko.
Prestasi Indonesia mulai menukik. Usai Ferril Hattu mengapteni tim memenangi medali emas SEA Games 1991, tidak ada lagi prestasi tinggi yang diraih Merah-Putih.
Terutama ketika mulai 1999, SEA Games diikuti tim U-23. Untuk tim senior Asia Tenggara, Piala AFF -- atau dulu dikenal Piala Tigers -- menjadi ajang prestise tertinggi. Prestasi Indonesia mentok di posisi runner-up. Catatan tersebut diraih tiga kali penyelenggaraan beruntun -- 2000, 2002, dan 2004. Tidak hanya posisi nomor dua, Indonesia menuai hujatan setelah pada Piala Tigers 1998 sengaja mengalah 3-2 ketika melawan Thailand. Pertandingan itu ditandai dengan gol yang disengaja Mursyid Effendi ke gawang sendiri.
Indonesia hanya mampu mencetak kejutan-kejutan yang hanya dapat dianggap sebagai prestasi minor belaka. Empat kali berturut-turut berlaga di Piala Asia, Indonesia hampir selalu menghadirkan kejutan.
Di Uni Emirat Arab 1996, Widodo Cahyono Putro mencetak gol spektakuler yang kemudian dinobatkan sebagai gol terbaik Asia tahun yang sama. Setelah melempem di Libanon 2000, Indonesia sukses membukukan kemenangan pertama di kancah pesta sepakbola tertinggi Benua Kuning itu. Qatar ditekuk 2-1, sekaligus membuat pelatih Philippe Troussier dipecat. Pada edisi terakhir di kandang sendiri, 2007, Indonesia sempat menang 2-1 atas Bahrain. Kalah di dua pertandingan selanjutnya atas Arab Saudi dan Korea Selatan, tapi seperti dimaafkan berkat penampilan yang penuh semangat.
Animo masyarakat pun melonjak tinggi. Prestasi boleh minim, timnas tetap dicintai. Apapun, catatan tersebut tak lantas menghilangkan seretnya prestasi sepakbola Indonesia. Sudah 17 tahun lebih Indonesia tak lagi meraih gelar bergengsi. Terakhir di Piala AFF 2008, Indonesia kalah tangguh dari Thailand di babak semi-final.
Macan yang dulu mengaum lantang di Asia itu kini sedang tertidur pulas...
Prestasi
Piala Dunia: 1938 (babak pertama - di bawah Hindia Belanda).
ASEAN Football Federation Cup: Runner-Up: 2000, 2002, 2004.
South East Asian Games: Juara: 1987, 1991. Runner-Up: 1979, 1997.
Orang-orang Nurdin di PSSI ’saling sikut’ Haruna pesimistis tenggat FIFA terpenuhi
JAKARTA - Pendukung-pendukung Nurdin Halid yang menjadi pengurus di PSSI mulai retak dan mereka mulai saling ’sikut’. Bahkan ada yang membeberkan kepada wartawan tentang surat ultimatum dari AFC yang meminta PSSI segera melakukan pemilihan ulang ketua umum PSSI selambat-lambatnya tanggal 4 Agustus mendatang.
Tersebarnya surat ultimatum dari konfederasi sepak bola Asia, AFC itu, merupakan indikasi mulai terjadi keretakan di tubuh PSSI. Sebagian pengurus mulai risih dengan sikap bertahannya Nurdin Halid meski FIFA telah mendesak PSSI untuk segera menggantinya dan memilih ketua umum baru.
Pengamat sepakbola Sinyo Aliandoe menanggapi surat dari AFC bertanggal 6 Maret yang ditandatangani Sekretaris Jenderal AFC Dato Paul Mony Samuel itu, merupakan sinyal bahwa PSSI, terutama Nurdin Halid harus legawa dan melakukan pemilihan ketua umum baru.
’’Surat tersebut seharusnya tersimpan rapat, tetapi tampaknya sengaja dibocorkan. Ini juga menandakan pendukung Nurdin Halid tidak lagi solid. Mulai muncul keretakan di PSSI,’’ katanya.
Surat AFC bernomor AFC/ PSSI/MBH/CMP-legal 08 itu memberi tenggat 4 Mei kepada PSSI untuk menyelesaikan revisi Pedoman Dasar (statuta PSSI) serta melakukan kongres pemilihan pengurus paling lambat 4 Agustus 2008. Menurutnya, Nurdin Halid memang tidak bisa lagi bertahan karena FIFA ataupun AFC sudah tidak mengakuinya.
’’Ini di luar perkiraannya (Nurdin Halid). Sebelumnya, ia mengira bakal mendapat dukungan dari AFC, namun nyatanya justru AFC memperkuat posisi FIFA yang tidak mengakui Nurdin Halid dan menghendaki PSSI segera melakukan pemilihan ulang ketua umum,’’ ujar Sinyo.
Ditambahkan mantan pelatih nasional itu, sikap ngotot Nurdin hanya akan membahayakan persepakbolaan Indonesia. ’’Akan ada tindakan, seperti negaranegara lain. Tindakannya jelas, pembekuan, jika PSSI tidak mematuhi tenggat yang telah ditentukan tersebut,’’ ujarnya.
Pesimistis
Anggota Komite Eksekutif PSSI, Haruna Soemitro, tidak berani berkomentar soal surat AFC itu. Ia mengatakan, di antara anggota Komite Eksekutif ada kesepakatan, yang boleh berbicara hanya juru bicara PSSI, Mafirion. Saat ingin dikonfirmasi kemarin, Mafirion tak bisa dihubungi.
Mafirion, melalui pesan singkat SMS, mengungkapkan, tak ada perkembangan baru terkait revisi Pedoman Dasar PSSI. ’’Enggak ada yang mesti saya jawab. Saat ini tidak ada hal baru,’’ kata Mafirion. Penegasan Mafirion ini disampaikan sekitar sepekan setelah surat AFC dikirim kepada PSSI.
Haruna hanya menyatakan, ia pesimistis, batas waktu yang diberikan AFC atau FIFA untuk menyelesaikan revisi statuta bisa dipenuhi. ’’Untuk mengesahkan Pedoman Dasar perlu Munaslub (musyawarah nasional luar biasa) dan kalau harus selesai Mei sangat sulit,’’ katanya.
Berneda dengan Haruna, Sinyo mengatakan, jika ada niat baik dari PSSI, revisi statuta tidak membutuhkan waktu terlalu lama. Menurut dia, lamanya penyelesaian revisi tampaknya sengaja dilakukan PSSI.
’’PSSI sepertinya mengulurulur waktu penyelesaian revisi statuta, kalau niat, seminggu juga bisa selesai. Seperti tahun 2004 lalu, saat perubahan Anggaran Dasar PSSI yang telah berlaku selama puluhan tahun diubah menjadi Pedoman Dasar, hanya butuh sekitar seminggu.’’
’’Kenapa sekarang tidak bisa? Lagi pula, AFC sudah memberikan tuntunan dengan 26 pasal yang harus diubah,’’ lanjutnya. Ce-did
Direktur BTN : Timnas Sudah Evaluasi
Ibnu Munzir menyatakan, Merdeka Games sejak awal hanya dijadikan sasaran antara dalam proses pembentukan tim inti yang bermaterikan 24 pemain untuk diterjunkan ke Piala Asia 2007 itu. Dalam proses itu, manajemen timnas senior sudah menyusun serangkaian program yang antaranya adalah mengikuti Merdeka Games itu.
“Kita sepakat bahwa kekagagalan itu menyakitkan, tetapi BTN sejak awal tidak manargetkan peraihan gelar di turnamen itu karena manajemen timnas senior juga belum bisa merangkum pemain-pemain terbaik yang sebagian masih harus memperkuat klubnya di Piala Indonesia,” jelas Ibnu Munzir.
Disinggung tentang kemungkinan dilakukannya evaluasi menyeluruh dari kegagalan timnas senior merebut gelar di Merdeka Games itu, Ibnu Munzir menyatakan bahwa evaluasi itu tentunya secara otomatis sudah dilakukan oleh tim manajemen timnas senior.
“Evaluasi itu tentu dilakukan secara otomatis, termasuk mengenai kinerja pelatih Peter Withe,” kata Ibnu Munzir.
Menurut Ibnu, manajemen timnas senior secara lisan sudah memberikan evaluasi dari penampilan timnas di Merdeka Games.
“Dalam hal ini BTN hanya dilapori, sebab dengan BTN sifatnya hanya koordinatif,” jelas Ibnu Munzir.
Kekalahan timnas senior dari Myanmar di final Merdeka Games 2006 telah mengundang kritik tajam atas kinerja pelatih kepala Peter Withe. Mantan pemain Aston Villa dan timnas Three Lions (Inggris) ini dinilai tidak mampu meningkatkan kinerja timnas secara signifikan. Selama dua tahun menangani beberapa timnas Peter Withe selalu gagal mengantar timnya merebut gelar, paling banter runner-up.
Tak kurang dari mantan pelatih nasional Sinyo Aliandoe, mantan pelatih PSIS Sutan Harhara, serta mantan pemain nasional Ricky Yacobi yang menyerukan perlunya BTN PSSI melakukan evaluasi menyeluruh tentang kinerja Peter Withe itu.
Kekesalan Sinyo lebih-lebih karena lawan yang dihadapi oleh timnya Peter Withe di final Merdeka Games 2006 ini adalah tim yang dengan materi pemain muda di bawah usia 23 tahun, yang dipersiapkan untuk Asian Games 2006 serta SEAG 2007 Bangkok.
Ibnu Munzir mangakui bahwa jalan yang ditempuh timnas senior menuju ke Piala Asia 2007 memang masih sangat terjal. Namun demikian, dia juga meminta agar masyarakat pecinta sepakbola tidak buru-buru bersikap pesimistis.
“Jalan kita masih panjang dan waktu yang kita miliki pun masih cukup banyak,” kata Ibnu Munzir yang juga ketua bidang organisasi dan keanggotaan PSSI itu.
Disinggung tentang pelatihan timnas senor pasca kegagalan di Merdeka Games ini, Ibnu Munzir mengatakan bahwa manajemen timnas senior sudah memberikan laporan secara lisan tentang kemungkinan dilakukannya pelatihan di Sulsel dan Jatim.
“Setelah beberapa hari diliburkan mereka akan menjalani latihan di Sulsel, termasuk dengan menjalani serangkaian pertandingan di Makassar dan Pare Pare. Mereka juga kemudian akan menjalani latihan di Gresik,” jelasnya.
Menurut keterangan manajer timnas senior Andi Darussalam Tabusalla sebelumnya, pelatihan di Sulsel dan Gresik ini akan dilakukan selama sekitar dua bulan. Andi Tabussala menyatakan juga bahwa timnas senior kemungkinan besar tetap akan diterjunkan ke Piala AFF bulan Januari. Tentang rencana pelatihan di Birmingham, Inggris, Andi Darussalam mengatakan bahwa semua itu tergantung pada kesiapan dana BTN.(adi)
MANTAN PEMAIN Stop Kekerasan Sepakbola
JAKARTA (Suara Karya): Stop kekerasan di pertandingan sepakbola. Forum mantan pemain nasional meminta semua pihak, terutama PSSI agar menghentikan kekerasan yang terjadi di kompetisi Liga Indonesia, Piala Indonesia, Divisi I dan II. Kerusuhan antar pemain, penganiayaan terhadap wasit, pengaturan skor dinilai sudah sangat mencemaskan.
"Kami sangat prihatin maraknya kekerasan di sepakbola kita. Kalau kondisi ini tidak segera dihentikan, bukan tidak mungkin berdampak buruk terhadap sepakbola. Para orang tua akan takut anaknya bermain sepakbola. PSSI harus menjaga wibawanya, bertindak tegas agar kerusuhan antar pemain, penganiayaan wasit, pengaturan skor bisa diberantas," ujar mantan striker tim nasional era 1975-an Ronny Patinasarani.
Sinyo Aliandoe menegaskan, dalam rangka pertandingan babak delapan besar Liga Indonesia yang akan dimulai Jumat (16/9) di dua kota, Jakarta dan Jayapura, PSSI, panitia pelaksana harus benar-benar menjaga keselamatan para pemain sejak mereka datang di lapangan hingga pulang sehabis pertandingan.
Menurut Sinyo, kerusuhan antar pemain, kebrutalan suporter, penganiayaan wasit yang memimpin pertandingan, pengaturan skor, di mana setiap tuan rumah selalu harus menang, sudah mencemaskan.
Kebijaksanaan PSSI yang membolehkan penggunaan lima pemain asing di sebuah klub harus ditinjau ulang. Karena terlalu banyak, menutup pemain lokal untuk tumbuh berprestasi bagus. Sementara pemain luar negeri yang berlaga di kompetisi sepakbola Indonesia kualitasnya tidak jelas. Para pemain impor itu tidak bisa menjadi contoh yang baik bagi para pemain lokal.
"Kualitas mereka sebagian besar jelek, Bahkan permainannya pun kasar. Pada saat latihan sering kali melawan pelatihnya. Saya minta PSSI serius mengatasi masalah ini," kata om Sinyo panggilan akrab Sinyo Aliandoe. (Yon P)
Petang Ini, di Stadion Langsa Hanya Ada Satu Kata, Menang!
ARSIP :
Serambi : Sepakbola
cetak berita Cetak Artikel
# 05/07/2006 10:28 WIB
Petang Ini, di Stadion Langsa
Hanya Ada Satu Kata, Menang!
PETANG ini Stadion Langsa kembali menjadi saksi dari sebuah upaya heroik Surya Darma dkk untuk mencari sebuah kepastian terhindar dari zona degradasi Divisi I PSSI. Pasukan besutan Sinyo Aliandoe itu akan terlibat perseteruan hidup mati dengan PSP Padang. Kedua tim hanya punya satu tekad, menang.
Perburuan angka penuh kedua skuad tersebut memang dilandasi kepentingan berbeda. PSBL mencari posisi aman agar tak terjungkal ke Divisi II, serta masuk dan keluar kampung untuk merengkuh kembali kehormatan Divisi I. Memang, jika hanya satu tim yang terdegradasi, posisi PSBL Langsa sudah super aman.
Namun jangan lupa, belakangan ada wacana bahwa sebanyak dua tim posisi bawah masing-masing wilayah akan terdegradasi. Nah, dalam kondisi ini, nasib PSBL jelas belum aman. Tergelincir dari PSP bisa membuat anak-anak Langsa akan bergabung dengan PSBL Bandar Lampung yang sudah pasti dikirim ke Divisi II.
Hasil imbang saja bisa membuat Surya Darma akan terkejar oleh Medan Jaya dan PS Palembang. Jelas, ini risiko yang tak boleh diambil oleh pasukan Sinyo Aliandoe.
Sementara bagi PSP Padang yang diasuh oleh Jhon Arwandi, angka penuh adalah harga mati. Hanya dengan kemenangan, mereka bisa mendampingi PSSB Birueun untuk laga lanjutan menuju altar Divisi Utama. Itupun dengan catatan, Persiraja Banda Aceh dijungkalkan oleh PSBL Bandar Lampung yang kini sudah ’mati busi‘.
Bagi PSP tentu akan ngotot untuk meraih angka penuh. Termasuk berharap agar Tarmizi Rasyid dkk terjungkal di Lampung. Hanya dengan itu, mereka masih bisa menyalakan harapan, untuk merintis jalan menuju Divisi Utama PSSI.
Sinyo Aliandoe yang dihubungi, kemarin, mengatakan, pasukan Elang Biru––julukan untuk PSBL Langsa––akan tampil dengan kekuatan penuh. Sinyo ingin memelihara rekor tanpa cela selama membawa PSBL pada putaran kedua.
Pelatih berbadan subur itu terhitung luar biasa. Mengambil alih PSBL dari tangan Hamdani Lubis, saat PSBL hanya mampu mengoleksi point 4, Bung Sinyo membawa PSBL dalam langkah spektakuler. Surya Darma dkk melangkahi tujuh perlagaan tandang/kandang tanpa terkalahkan, baik di lintas Divisi I maupun Copa Djie Sam Soe. Salah satu hasil fenomenal adalah ketika menggilas Medan Jaya 4-0 di Medan.
Sinyo tentu tak mau rekornya tercela, dan itu justru di depan para pendukung Elang Biru yang kini mulai menaruh harapan terhadap tim tersebut. Untuk itu ia akan menginstruksikan Surya Darma dkk tampil allout.
Bagi Sinyo, duel dengan PSP Padang merupakan laga yang sangat menarik dan penuh tantangan. Masalahnya, tim Ranah Minang itu datang ke Langsa dengan ambisi membubung. Memenangkan laga agar dapat meluncur dalam daftar dua besar.
Di sisi lain, Sinyo juga ingin membuktikan kepada bola mania di Langsa, bahwa PSBL saat ini adalah sebuah tim dengan spirit kebangkitan luar biasa. Dan PSP adalah salah satu yang akan menjadi korban dalam pembuktian spirit tersebut.
Petang nanti, kecuali Heru, semua anak-anak PSBL Langsa dapat tampil ke lapangan hijau. Heru tak bisa merumput, karena terkena akumulasi kartu kuning.
Sinyo memang tak mau terlalu banyak umbar kata tentang laga petang nanti. Namun ia mengakui bahwa PSBL akan digerakkan dengan formasi favoritnya 3-5-2. Formasi ini dinilai ideal, dengan lebih menfokuskan penguasaan lapangan tengah.
Selain itu menjadi ampuh untuk kebutuhan bertahan atau ovensive, dengan reformasi menjadi 4-4-2. Untuk posisi tombak kembar itu bisa jadi dipercayakan kepada duo legiun asing, Tibidi Alexis dan Kalvien Kie. “Kami tak mau ambil risiko untuk kalah di kandang, jadi angka penuh adalah target utama,” kata Sinyo Aliandoe.
Optimisme kubu tuan rumah itu tak membuat ciut nyali kubu PSP. Pelatih PSP Jhon Arwandi dengan tegas menyatakan, meski bermain di kandang lawan, mereka tetap memburu angka penuh. “Kami telah mempersiapkan diri secara maksimal, agar dapat tampil dengan baik serta mengalahkan PSBL Langsa di kandangnya,” kata Jhon Arwandi.
Pelatih itu mengakui kemampuan anak asuhnya terhitung merata, tanpa ada yang merasa diri jadi bintang. Meski PSP Padang memiliki empat pemain asing asal Guinea dan Nigeria, namun kemampuan mereka terhitung tidak berbeda mencolok. “Jadi, tak ada alasan untuk mengalah dengan PSBL Langsa,” tegas Jhon Arwandi.
Berbeda dengan Sinyo Aliandoe, Jhon juga akan menggerakkan anak asuhnya dalam formasi dasar 4-4-2. Dalam kondisi itu, Romus Syahputra dan legiun asing Alseny Diawara akan menjadi tombak kembar dan siap mengancam lini belakang tuan rumah yang akan dikomandoi Surya Darma dan didukung Rizaldi serta Fatmawi. Penguatan lini belakang PSBL juga akan dibantu gelandang asing veteran, Ibrahim Hehanusa yang sering rajin ikut turun ke lini belakang.
Pelatih urang awak itu secara jujur mengakui, pada putaran kedua ini penampilan anak-anak PSBL Langsa jauh lebih maju dari sebelumnya. Apalagi pelatih PSBL Langsa sekarang adalah mantan pelatih nasional. Namun Jhon mengingatkan, PSP bagaimanapun harus memenangkan perlagaan. “Apapun situasi dan kondisinya, PSP Padang tetap ingin menang,” ujar Jhon Arwandi.
Di sisi lain Jhon Arwandi mengatakan, tim manapun yang diuntungkan melalui hasil pertandingan hari ini, pihaknya tidak mau ambil pusing. “Bagi kami, yang terpenting sekarang adalah bagaimana cara menaklukkan PSBL Langsa di kandangnya,” tegas Jhon Arwandi.(sy/rid)
Alamat Redaksi: Jl Raya Lambaro Km 4,5 Tanjung Permai, Manyang PA , Aceh Besar - Banda Aceh. (0651) 635544 (ext: 205, 209, 218, 219) (0651) 637180 redaksi@serambinews.com
Serambi Online sejak 1 Juni 2004 | Designed & Created by Sobirin, TI Bangka Pos Group
Serambi Indonesia © Juni 2004
Nurdin Halid Sebaiknya Sadar Diri
Demikian benang merah pendapat sejumlah pengamat sepak bola, yang dimintai tanggapan oleh Kompas, Sabtu dan Minggu (15-16/9). Mereka adalah mantan pemain dan pelatih tim nasional Sinyo Aliandoe, eks Ketua Bidang Organisasi PSSI Tondo Widodo, dan Koordinator Indonesian Sport Watch Lilianto Apriadi.
Sinyo berpendapat, hukuman dua tahun penjara membuat Nurdin berhalangan tetap memimpin PSSI. "Semampu-mampunya Nurdin menjalankan roda organisasi dari penjara, tentu hasilnya tidak akan maksimal. Jadi sebaiknya sadar diri, mundur sajalah," kata Sinyo.
Lilianto meminta Nurdin segera menyerahkan diri kepada aparat hukum, sebagai teladan dari seorang tokoh olahraga yang berjiwa sportif. Setelah itu, Nurdin meletakkan jabatan Ketua Umum PSSI, lalu PSSI menggelar musyawarah nasional luar biasa. Hal senada diungkapkan Tondo. (ADP)
'Indonesia Gampang Grogi'
Jelang INA vs Thailand
'Indonesia Gampang Grogi'
Erika Riswanti - detiksport
Jakarta - Indonesia selalu grogi kalau bertemu dengan Thailand. Demikian pendapat mantan pelatih timnas Indonesia, Sinyo Aliandoe tentang duel Indonesia versus Thailand di babak semifinal Sea Games 2005. Menanggapi duel timnas U-23 yang ditukangi Peter Withe melawan timnas Thailand, Sinyo menyatakan bahwa Thailand sedikit punya kelebihan dibanding Indonesia. Kelebihan itu adalah rasa percaya diri yang besar. "Thailand itu punya prinsip, kalau mereka boleh kalah dari tim lain, tetapi asal jangan kalah dari Indonesia," kata Sinyo. Otomatis dengan prinsip seperti itu tim Gajah Putih akan tampil lebih ngotot dibandingkan Indonesia. Ditambah penampilan babak penyisihan yang cukup stabil, Thailand bisa dikatakan unggul di atas kertas. "Sepanjang babak penyisihan, penampilan Thailand sangat stabil. Mereka akan jadi lawan yang berbahaya bagi Indonesia." "Indonesia harus bisa kurangi rasa nervous-nya. Setiap ketemu Thailand, pemain Indonesia selalu berkurang rasa percaya dirinya. Grogian jika lawan Thailand. Akan lebih ringan kalau Indonesia bertemu dengan Malaysia di babak semifinal," tambahnya. Oleh karenanya, Sinyo berharap pemain Indonesia bisa menjaga rasa percaya dirinya. Apalagi, Indonesia baru saja mengalahkan Laos dengan skor yang telak, 4-0. "Peter Withe harus bisa membangun rasa percaya diri pemain. Kemenangan atas Laos itu bisa jadi modal yang sangat besar," tandas Sinyo. Foto: Peter Withe diharap bisa menambah rasa percaya diri skuad timnas U-23 (asianfootball) ( erk )
Pembenahan PSSI Perlu untuk Atasi Kekerasan
"Jangan sampai kompetisi di Divisi Utama, Divisi I maupun Divisi II dijadikan ajang 'balas dendam'." Demikian salah satu intisari dari pertemuan sejumlah mantan pemain nasional, yang dilakukan Rabu (7/9) kemarin di Restoran Putt Putt Golf di kawasan Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta.
Hadir pada pertemuan ini pemain-pemain nasional tahun 1960-an sampai 1980-an, yang sebagian besar sudah menjadi pelatih. Mereka antara lain Bob Hippy, Sinyo Aliandoe, Ronny Pattinasarany, Sutan Harhara, Bambang Nurdiansyah, Nobon, Herry Kiswanto, Andi Slamet, dan Ronny Tanuwijaya.
Menurut Sinyo Aliandoe, kekerasan yang terjadi dalam kompetisi sepak bola nasional, baik itu di Divisi Utama, Divisi I, Divisi II atau Piala Indonesia, sudah sangat memprihatinkan dan merisaukan. Hal ini disebutya tak terlepas dari tidak adanya kewibawaan dari perangkat pertandingan. Kurang wibawanya perangkat pertandingan itu sendiri tidak bisa dilepaskan dari adanya carut-marut yang terjadi di kepengurusan PSSI.
Perubahan
Andi Slamet bahkan menegaskan, situasi carut-marut itu akan terus terjadi seandainya tidak terjadi perubahan dalam kepengurusan PSSI sekarang ini. Dalam kaitan itu, Andi Slamet menyarankan perlunya dilakukan pergantian dalam kepengurusan PSSI saat ini. "Sekarang ini sudah tak bisa lagi dipertahankan," katanya.
Sinyo dan Ronny Pattinasarany lebih jauh menegaskan tentang perilaku pemain asing yang ikut memperburuk citra sepakbola Indonesia sekarang. Sebagian besar pemain asing yang berkompetisi di Divisi Utama dan Divisi I dinilai tidak melalui pemilihan yang selektif. "Ini yang harus dicermati," kata Ronny.
Herry Kiswanto yang saat ini menangani Persikabo Kabupaten Bogor, melukiskan bagaimana keselamatannya sangat terancam karena dikejar-kejar oleh pendukung Persemai Dumai. (wgm-22)
Kardono "Migunani" Kini Telah Tiada
Kardono yang kelahiran Godean, Yogyakarta, 12 Desember 1929, dimakamkan di TMP Nasional Kalibata, kemarin siang dengan inspektur upacara Wakasau Marsdya TNI Wartoyo setelah diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cipinang Cempedak II/56, Jakarta Timur dengan inspektur upacara Aspers Kasau Marsda TNI Bambang Risharyanto dengan upacara militer, pukul 12.30.
Di antara para pelayat, tampak mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Awaloedin Djamin serta kalangan militer, dua orang putri mantan Presiden Soeharto, Mamiek dan Titik Prabowo serta sejumlah artis.
Kardono yang pernah memimpin PSSI selama delapan tahun pada era 1983-1991, meninggal setelah dirawat di RS Pondok Indah, Jakarta Selatan sejak Rabu lalu karena menderita kanker. Menurut mantan Sekum PSSI Nugraha Besoes, almarhum menderita kelenjar getah bening sejak dua bulan lalu.
Almarhum meninggalkan seorang istri, RA Rochayatun, 67, beserta lima anak (dua perempuan) serta 11 orang cucu. Kelima anaknya adalah Dewi Rudjiati, 46; Arman Suyadi, 44; Sujono, 42; Guntur Pawoko, 39; dan Woro Indriati, 37.
Kardono sudah sering menjalani pemeriksaan kesehatan di National University Hospital, Singapura. Dia merupakan purnawirawan TNI AU dengan pangkat terakhir Marsekal Madya, pernah menjabat sebagai Dirjen Perhubungan Udara.
Di kancah olahraga (sepakbola), Kardono muncul ke tampuk pimpinan PSSI ketika sepakbola Indonesia selalu kalah dari tim luar negeri dan kepemimpinan PSSI mengalami krisis. Kardono yang kemudian namanya jadi kesohor setelah "bergulat" dengan sepakbola, muncul membawa harapan, terpilih sebagai Ketua Umum PSSI lewat Kongres Luar Biasa pada November 1983, mengalahkan banyak saingan, di antaranya pengusaha Probosutedjo yang memiliki klub Mertju Buana.
Naiknya Kardono yang merupakan pembina Klub Angkasa, ketika itu sudah diatur oleh panitia kongres. Sebelum utusan perserikatan dari berbagai daerah datang ke kongres, Pengurus Harian PSSI Supajo Pontjowinoto mengirimkan telegram yang isinya hanya Kardono yang direstui oleh pimpinan nasional untuk jabatan Ketua Umum PSSI.
***
SEPERTI dikutip dari buku "Apa dan Siapa", kongres pun berjalan cukup tegang, bahkan Solichin GP beserta sejumlah peserta dari Komda PSSI Jabar meninggalkan sidang ketika berlangsung pemilihan ketua umum. Tetapi ganjalan kongres itu tidak berlarut-larut, dan penggemar sepakbola menaruh harapan besar kepada Kardono karena tokoh ini dekat dengan pimpinan nasional, sebab jabatannya ketika itu.
Dibawah kendalinya, PSSI sempat beberapa kali merebut prestasi membanggakan. Diantaranya ketika Timnas berada dalam asuhan Bertje Matulapelwa, mampu menyodok keempat besar Asian Games 1986. Timnas PSSI mampu merebut medali emas di SEA Games 1987 dan 1991. Saat menjuarai SEA Games 1987 Timnas diasuh Bertje Matulapelwa, sedangkan pada tahun 1991 dilatih oleh Anatoly Polosin dan Urin. Di kejuaraan junior Asia, Timnas PSSI pernah menjadi juara lima kali berturut-turut sejak 1984 hingga 1988.
Pada 1985, Timnas PSSI gagal meraih tiket ke Piala Dunia 1986 di Meksiko, hanya menjadi juara sub grup 3-B Asia. Pada penentuan juara grup, PSSI disisihkan Korea Selatan. Pelatih Timnas PSSI Pra Piala Dunia ketika itu, Sinyo Aliandoe menjadi bulan-bulanan kecaman masyarakat. Tetapi Kardono justru memuji Aliandoe. "Aliandoe punya prinsip dan pendirian yang tegas. Saya menghargai sikap itu," kata Kardono yang menyebut kegagalan itu bukan kesalahan pelatih.
Separuh masa jabatan Kardono di PSSI disibukkan oleh masalah suap. Ia mengakui, sulit membawa kasus suap ke pengadilan karena belum ada bukti kuat untuk bisa membawa kasus itu ke pengadilan seperti diungkapkannya kepada Komisi IX DPR, Mei 1985.
***
EMPAT baris kata-kata bijak di atas, adalah tuntunan hidup yang dihayati sepenuhnya oleh Kardono, "wewarah" yang diperolehnya dari almarhum mertua dan ayah ibunya, yang kini diwariskan kepada para penerusnya.
Wewarah (nasehat) orang tua itu, dituangkannya sebagai kata-kata pembuka dalam buku "Migunani" (hidup ada arti) yang ditulis oleh Kardono sendiri pada Mei 2001. Buku yang hanya berisikan 23 halaman dan banyak dihiasi foto-foto kegiatan pengabdiannya itu lebih menyuguhkan filosofi tentang kehidupan dan betapa sakralnya arti agama.
Di antara tuturnya, adalah hidup harus berguna, bermanfaat hanya dengan usaha atau bekerja. Bekerja menjadi keharusan, kewajiban hidup. Hidup adalah bekerja dan bekerja adalah untuk hidup. Bukan diartikan sebagai hidup untuk makan, sekalipun makan untuk bisa hidup. "Amatlah menyedihkan, bilamana orang tidak mengetahui dan masih tidak tahu tentang apa yang dikehendaki, atau apa yang menjadi kemauannya."
Kardono memiliki pembawaan yang tenang, dikenal sebagai pejabat yang hidup sederhana. Ayahnya hanya seorang petani kecil di Desa Godean, Yogyakarta, dan Kardono kecil menghabiskan sekolahnya di Yogya hingga tamat SMA. Kemudian melanjutkan di Sekolah Tinggi Teknik Bagian Geodesi di Bandung, 1951.
Hingga akhir hayatnya, Kardono aktif dalam 16 yayasan, meliputi bidang-bidang pendidikan, keluarga, sepakbola, masjid, makam, sosial, yatim piatu, beasiswa, rumah sakit dan lingkungan hidup. Ia pernah membantu penghijauan dengan menanam lebih dari 33.000 pohon di Sulteng, Jabar, DKI, Jateng dan Jatim. Ikut memberikan bantuan modal kepada lebih dari 400.000 KK pedagang kecil dengan bunga rendah di DIY, serta bantuan beasiswa sebanyak 3.067 pelajar SD, SMP, dan SMA di DIY.
"Berkarya mengurus yayasan inilah menjadi kegiatan sehari-hari penulis untuk mengisi sisa-sisa hidup pada usia lansia," sebut Kardono sendiri.
Diantara untaian petuah yang ditinggalkannya melalui bukunya itu, ada pula kalimat yang bisa diambil makna dan manfaatnya. "Mereka yang berhasil ternyata lebih banyak tergantung pada cara dan banyaknya bakat yang ada padanya untuk dimanfaatkan." Dan, "Hanya dengan pertolongan Tuhan segala sesuatu akan dapat berhasil."
Selamat jalan Kardono, Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
(taufiq rasjid)
Sumber: http://203.130.242.190//artikel/12685.shtml
Jumat, 03 Juli 2009
Mengenang Kemenangan 23 Tahun Silam
WASIT asal Jepang, Toshikazu Sano meniupkan peluit panjang tanda pertandingan berakhir. Sontak, seperti terlihat di layar TVRI, segelintir pendukung Indonesia yang hadir di Stadion Nasional Bangkok, bersorak kegirangan.
Di lapangan, pelatih Sinyo Aliandoe dan seluruh anggota skuadnya, juga tampak mengekspresikan kegembiraannya dengan berbagai cara. Kegembiraan dan kebanggaan pun, hampir bisa dipastikan menjadi milik jutaan penggemar sepak bola nasional yang nongkrong di depan layar kaca ketika itu.
Momentum membanggakan itu terjadi pada Jumat, 29 Maret 1985, ketika Herry Kiswanto dan kawan-kawan mempermalukan Thailand 1-0 di depan puluhan ribu pendukungnya sendiri. Gol hasil tendangan Heri Kiswanto ke gawang Thailand dari jarak sekitar 40 meter, gagal dibalas Vitthaya Laohakul dkk. Kemenangan ini terasa dramatis, karena timnas harus bermain 10 orang menyusul diusirnya Rully Nere dari lapangan.
Sinyo Aliandoe menurunkan formasi Hermansyah (kiper), Ristomoyo, Marzuki Nyakmad, Heri Kiswanto, Warta Kusumah, Aun Harhara, Elly Idris, Zulkarnain Lubis, Bambang Nurdiansyah, Rully Nere, dan Wahyu Tanoto. Sedangkan pelatih Thailand, Sainor Chaiyong menurunkan Chalit Suttabin (kiper), Voravudh Daengsamer, Surak Chaikitti, Sompong Wattana, Sangnapol Chalermvud, Sutin Chaikitti, Chalor Hongkajohn, Thanis Areesngarkul, Sompong Nantapraparsil, Vitthaya Laohakul, dan Vitoon Kijmongkol.
Bagi Indonesia, kemenangan itu sekaligus mengukuhkan dominasi atas Thailand pada babak kualifikasi Piala Dunia 1986 Zona Asia Sub Grup IIIB. Sebab, pada laga pertama di Stadion Utama Senayan Jakarta, 14 hari sebelumnya, tim Merah Putih juga menang 1-0 lewat gol tunggal Dede Sulaeman pada menit ke-84.
Berkat kemenangan itu pula, Indonesia yang dalam tiga pertandingan sebelumnya tak terkalahkan, berhasil mengamankan tiket ke babak selanjutnya untuk menantang juara Subgrup IIIA, Korea Selatan, meski dalam dua laga terakhirnya dikalahkan Bangladesh 1-2 dan bermain imbang dengan India 1-1. Meski akhirnya Indonesia gagal lolos ke Meksiko, tempat putaran final Piala Dunia 1986 dipentaskan, karena kalah 0-2 dan 1-4 dari Korea Selatan, dua kemenangan atas Thailand itu tetap menjadi kenangan indah buat publik sepak bola nasional hingga saat ini.
Momentum 23 tahun silam itu memang hanya tinggal kenangan. Itulah kemenangan terakhir timnas atas Thailand. Sejak saat itu, timnas tak pernah bisa lagi mencatat kemenangan atas "Negeri Gajah Putih" itu dalam berbagai pertandingan yang oleh Federasi Sepak Bola Internasional (FIFA) masuk dalam kategori "A". Jaya Hartono dan Robby Darwis memang pernah mengalahkan Thailand pada perebutan medali perunggu SEA Games 1989 di Kuala Lumpur dan final SEA Games 1991 di Manila. Tetapi, karena diraih melalui drama adu penalti, dua keberhasilan itu tidak dimasukkan FIFA ke dalam statistik kemenangan, melainkan dianggap seri.
Sejak kemenangan terakhir di Bangkok itu, Indonesia sudah bertemu 14 kali dengan Thailand. Hasilnya, 6 kali kalah dan 8 kali seri. Satu kekalahan timnas yang paling memalukan adalah ketika dibantai Thailand 7-0 di SEA Games 1985 di Bangkok. Ada juga kekalahan 2-3 yang diwarnai insiden gol bunuh diri secara sengaja oleh Mursyid Effendi pada Piala Tiger 1998 di Ho Chi Minh City, Vietnam.
Secara keseluruhan, sejak pertama kali bertemu di Turnamen Merdeka Games 1957, hingga menjelang babak semifinal pertama Piala AFF 2008 di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Selasa (16/12) ini, timnas sudah bertarung 58 kali dengan Thailand. Dari rekor pertemuan tersebut, statistik masih menunjukkan dominasi Thailand, karena mereka bisa menang dalam 27 pertemuan, sedangkan Indonesia hanya mencatat 15 kali kemenangan dan 16 pertemuan sisanya berakhir imbang.
Saking kuatnya dominasi Thailand atas Indonesia, menjelang pertemuannya yang ke-59 di babak semifinal Piala AFF 2008 di Stadion Gelora Bung Karno Jakarta, Selasa (16/12), bayang-bayang kegagalan pun tetap menghantui tim Merah Putih. Namun, penggemar sepak bola nasional tentu berharap, tim asuhan Benny Dollo bisa mengakhiri dominasi Thailand itu. Ya, semua berharap, kemenangan 23 tahun silam di Bangkok bakal terulang di Senayan. Semoga! (Endan Suhendra/"GM")***
sumber :
http://www.pikiran-rakyat.com/prprint.php?mib=beritadetail&id=48310Tatkala Kata Kehilangan Makna
Ditulis oleh Choki Sihotang (Penulis adalah pemerhati sepakbola nasional)
Siapa yang ingin menjadi pemimpin, baiklah dia mafhum bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang permanen. Kepemimpinan berarti bhakti yang harus dipertanggungjawabkan, dimana orang yang dipimpin merupakan hakim yang sesungguhnya. Jadi, seorang despot, cepat atawa lambat, akan terjungkal oleh waktu.
Kita ingat Mohammad Reza Pahlevi. 26 Oktober 1976, setelah memerintah selama 26 tahun di atas Takhta Merak, pemimpin berjuluk Syah ini – dengan suatu upacara gemerlapan, tentu saja – memahkotai dirinya sendiri dan istrinya menjadi raja dan ratu di atas singgasana Persia yang telah berusia 2.500 tahun.
Dalam satu wawancara dengan wartawan US News and World Report pada bulan Juni 1978, Syah berkata,”Tak ada orang yang dapat menggulingkan aku. Aku didukung oleh 70.000 pasukan. Semuanya pekerja dan kebanyakan dari rakyat”.
Waktu terus bergerak, berpacu. Hanya berselang enam bulan, Syah Reza digulingkan ulama gaek yang selama 15 tahun hidup dalam pengasingan di Prancis, Ayatullah Khomeini. Khomeini, - demikianlah sejarah mencatat - kemudian mendirikan Republik Islam Iran . Khomeini tak didukung oleh berlaksa-laksa tentara bersenjata pleno, seperti halnya Syah, melainkan sebuah elan membara : pengabdian kepada Islam.
PENGABDIAN. Sebuah kata yang kehilangan makna kini. Tatkala pengabdian kehilangan makna, kita tak lagi punya pedoman guna melakukan sesuatu sebagai wujud tanggungjawab. Pengabdian, dengan kata lain, kita lakoni secara serampangan. Itulah sebabnya, kita tak perlu heran jika ketidakpastian menjadi identitas kita di sini, di Indonesia ini. Kasus demi kasus tak tertuntaskan, menggantung. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir kepastian hukum, mandul. Hukum hanya milik orang-orang berduit. Bagi yang tak punya duit, terus diinjak dan kian ternafikan.
Di bidang olahraga, khususnya sepabola, sami mawon. Sebagai contoh, seorang teman pernah berkata kepada saya, pada sebuah malam yang basah di Jakarta : Menurut bung, kapan kira-kira Timnas Sepakbola kita berlaga di pentas dunia? Saya tak punya jawaban yang bagus untuk pertanyaannya. Makanya saya lebih memilih diam seraya menghela napas panjang. Karena diam, menurut saya, lebih arif daripada seribu kata sonder kepastian.
Boro-boro Piala Dunia, di pentas Asia Tenggara saja, prestasi terbaik kita tertoreh di SEA Games Manila , Filipina, 17 tahun lampau. Saat itu, Maman Suryaman dan kawan-kawan dengan langkah tegap menerima kalungan medali emas. Indonesia Raya berkumandang, menggelegar.
Prestasi terbaik di Asia , yakni Asian Games 1986. Ricky Yacobi dkk menempatkan Indonesia bertenger di peringkat empat. Prestasi cemerlang lain, timnas besutan Sinyo Aliandoe membawa Herry Kiswanto dkk menjuarai Sub-Grup IIIB Pra Piala Dunia 1986. Setelah itu, prestasi timnas terjun bebas.
Gelontoran dana yang melimpah tak jua mampu mengembalikan kedigdayaan Indonesia di level Asia . Pelatih-pelatih asing diimpor. Hasilnya , Indonesia tetap saja jadi bulan-bulanan. “ Dulu , Thailand , Singapura , Vietnam , dan Malaysia bukan lawan sepadan kita. Kita terlalu kuat bagi mereka. Di kawasan Asia Indonesia begitu disegani,” kata Sinyo Aliandoe kepada saya, dalam sebuah pembicaraan santai di kawasan Senayan, Jakarta .
Kenapa itu bisa terjadi? Mungkin kita lupa wejangan Bung Karno: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sejarah menjadi semacam acuan buat kita untuk melangkah ke depan. Artinya, yang jelek diperbaiki. Yang bagus dipertahankan dan alangkah bahagianya kalau itu dapat ditingkatkan.
Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) selaku badan otorita tertinggi sepakbola di Tanah Air – ya ampun – juga tak maksimal dan kalau ditilik dari prestasi timnas malah boleh dibilang mengalami kemunduran. Bagaimana tidak. Sejak berdiri 19 April 1930, baru kali inilah Ketua Umum PSSI dipenjara. Nurdin Halid, politisi Partai Golongan Karya itu terpaksa mendekam di balik jeruji besi lantaran korupsi.
Saya menghormati pernyataan Nurdin Halid yang mengatakan bahwa ini tak ada hubungannya dengan sepakbola. Tapi, faktanya, eksistensinya di dalam bui berdampak kepada citra PSSI.
Tak sedikit yang mendesak agar Nurdin Halid legowo melepaskan jabatannya. Putra Makassar itu dinilai gagal menjalankan tugas. Bagi saya, persoalannya bukan diganti atau tidak. Sejak reformasi menggelinding hampir satu dasawarsa lalu, Indonesia sudah dipimpin empat presiden. Namun, situasi dan kondisi dihampir semua lini tak berubah ke arah yang lebih signifikan.
Jika dipikir-pikir, di Indonesia ini banyak orang yang pintar. Dari profesor, jenderal, sampai paranormal berderet bak antrean kendaraan bermotor di SPBU. Toh tak membawa efek positif. Tak ada kerjasama. Tak ada unity. Tak ada kerendah hatian. Saling jegal. Saling kritik. Saling menjatuhkan. Semua ingin menjadi pahlawan.
Ada kata-kata sarkastis yang dikatakan artoo-detoo yang tak rancak untuk didengar : Berbahagialah orang-orang yang mengkritik bukan untuk jadi pahlawan. Karena jadi pahlawan adalah naik takhta. Dan naik takhta cenderung korup.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan Nasional, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Persoalannya sekarang, masih adakah pemimpin atau pahlawan saat ini benar-benar membela kebenaran? Saya skeptis. Soalnya, kalimat sindiran seperti maju tak gentar membela yang bayarlah yang acapkali kita dengar. Dan kalau mau jujur memang demikianlah adanya. Kita butuh seorang pemimpin berjiwa pahlawan yang punya semangat pengabdian yang tulus.
sumber :
http://bolanova.com/2008/01/11/tatkala-kata-kehilangan-makna/Kamis, 02 Juli 2009
NURDIN DIHUKUM Nirwan Bakrie Pantas Pimpin PSSI
JAKARTA (Suara Karya): Memang sudah saatnnya Nirwan Dermawan Bakrie muncul ke permukaan untuk memimpin PSSI. Adik kandung Menkokesra Aburizal Bakrie ini dinilai pantas menggantikan posisi Ketua Umum PSSI Nurdin Halid yang divonis hukuman dua tahun dan denda Rp 30 juta oleh Makamah Agung (MA) atas kasus korupsi minyak goreng.
sumber :
http://www.suarakarya-online.com/news.html?id=182402
Masih Berkiblat Ke Brazil
Masih Berkiblat Ke Brazil
sumber :
Sinyo Aliandoe Akan Dimintai Klarifikasi soal Tuduhan Suap
Jakarta, Kompas - Ketua Komisi Disiplin (Komdis) PSSI Andi Darussalam Tabussala mengakui sulit membuktikan adanya dugaan praktik suap di kalangan wasit sepak bola nasional. Tetapi, sekitar 97 persen pertandingan yang diadakan di kandang dari klub-klub yang berlaga di kompetisi Liga Bank Mandiri, hasil akhirnya selalu menguntungkan tuan rumah. Sulit menilai apakah kondisi itu terkait erat dengan adanya praktik suap yang dilakukan klub tuan rumah terhadap aparat pertandingan.
PSSI juga mengakui, dugaan suap yang melanda perwasitan sebetulnya tidak perlu terjadi jika klub atau aparat pertandingan menjaga mental dan moral mereka, demi kemajuan persepakbolaan nasional.
Untuk menindaklanjuti pernyataan Pelatih Persema Malang Sinyo Aliandoe yang melihat adanya gelagat kinerja wasit yang cenderung berpihak pada tuan rumah Persipuar Jayapura dalam pertandingan akhir pekan lalu, Tabussala hari Rabu (20/3) ini bertolak ke Makassar untuk menemui Sinyo, dan meminta klarifikasi ucapannya mengenai dugaan suap di harian ini beberapa hari lalu.
Ini dikemukakan Tabussala, yang didampingi Sekjen PSSI Tri Goestoro, kepada pers di Sekretariat PSSI di Jakarta hari Selasa petang. "Sulit memang membuktikan adanya dugaan suap sebagaimana dilontarkan Sinyo. Tetapi, saya akui, 97 persen pertandingan kandang memang memberikan keuntungan kepada klub tuan rumah. Apakah ini ada suap, sulit membuktikannya," papar Tabussala.
Menurut dia, pihaknya belum melihat cara yang jitu untuk menumpas habis suap, dan hanya meminta semua pelaku sepak bola nasional memelihara mental dan moral masing-masing. "Ini semua memang berpulang kepada mental dari kita semua. Komdis PSSI hanya bisa mengembalikan semuanya kepada klub dan wasit. Mereka semua, mau atau tidak, harus menjunjung tinggi sportivitas dan profesionalisme," tegas Tabussala.
Menyinggung soal kedatangan Tabussala ke Makassar, Sinyo mengakui siap memberikan keterangan yang diperlukan Komdis PSSI. "Saya tetap siap memberikan keterangan soal gelagat yang tidak benar, yang dilakukan wasit, yang merugikan klub kami saat bertandang ke Jayapura, dan kalah 0-3 dari tuan rumah Persipura. Saya melihat ada keanehan. Semua orang tahu, wasit tidak melakukan tugasnya dengan baik. Wasit yang sengaja dan wasit yang tidak sengaja melakukan kesalahan, akan terlihat dengan jelas. Saya juga melihat, kebanyakan pertandingan kandang selalu menguntungkan tuan rumah. PSSI harus mengkaji ini untuk kemajuan sepak bola nasional di masa depan," ucap Sinyo.
Menyangkut kemungkinan PSSI menjatuhkan sanksi kepada Sinyo jika ia tidak bisa membuktikan ucapannya dengan data, Tabussala dengan tegas mengatakan, "Tidak ada sanksi apapun untuk Sinyo. Saya hanya akan bertemu dan mengumpulkan keterangan sebanyak mungkin dari Sinyo." (BW)
sumber :
http://www2.kompas.com/kompas-cetak/0203/20/or/siny24.htm
Ketika Kompetisi Tak Lagi Dipercayai
Susahnya Membangun Sepak Bola Indonesia (1)
AWAL November ini menjadi hari-hari yang bahagia bagi komunitas sepak bola nasional. Setelah lebih 20 tahun absen dari arena Asian Games, tim nasional Indonesia kembali mendapat kepercayaan. Mereka berangkat ke Qatar untuk berlaga di pesta olahraga nomor dua terbesar di dunia setelah Olimpiade tersebut. Berikut catatan Suara Merdeka yang diturunkan dalam dua seri.
Tapi, sepak bola pergi tanpa target meski mereka telah berlatih lebih dari lima bulan di Drachten, Belanda. Cabang olahraga lainnya dipatok beban minimal masuk empat besar.
Nyaris bersamaan dengan pengumuman KONI Pusat akan keberangkatan tim sepak bola ke Asian Games, Kamis (2/11) lalu, di Surabaya ketua umum PSSI Nurdin Halid melontarkan ide kontroversial. Nurdin berencana membeli tujuh pemain Brasil untuk dididik menjadi ''Indonesia'' sebelum kewarganegaraannya dinaturalisasi lima tahun mendatang. Tujuh pemain itu nantinya menjadi anggota tim nasional Indonesia!
Ide Nurdin bagus. Naturalisasi pemain Brasil mungkin bisa memperbesar peluang lolos ke putaran final Piala Dunia. Jika merunut obsesinya, ditargetkan pada Piala Dunia 2014 di Brasil, Indonesia bisa ikut bersaing.
Salah satu alasan Nurdin melontarkan ide itu adalah karena dia tidak yakin kompetisi di Indonesia --Liga dan Copa Indonesia-- bisa melahirkan pemain yang mampu bersaing di babak kualifikasi Piala Dunia. Sangat ironis. Liga Indonesia digelar oleh PSSI, dan Nurdin adalah ketua umumnya. Namun sekarang, dia justru meragukan sendiri hasil kerjanya. Tak ada rasa percaya diri.
Tentu saja kontroversi langsung mencuat. Pertanyaan pertama yang muncul adalah; perlukah kita ''menyewa'' orang-orang Brasil untuk mengibarkan Merah Putih di tingkat internasional?
Duo pelatih gaek, Sinyo Aliandoe dan Sartono Anwar yang pernah menjadi pelatih timnas, menentang ide itu. Menurut keduanya, ide Nurdin mudah diwujudkan, namun prestasinya mustahil bisa dipertahankan. Misalnya setelah tim yang beranggotakan pemain impor itu membawa Indonesia lolos ke putaran final Piala Dunia, bagaimana cara mempertahankan prestasinya? Haruskah mengimpor pemain lagi?
''Benahi kompetisi dan pembinaan pemain usia dini. Kita tidak bisa meraih prestasi secara instan dengan model membeli pemain macam itu,'' ujar Sartono Anwar, eks pelatih timnas yang kini mengarsiteki Persikab Kabupaten Bandung.
Sedang Sinyo Aliandoe berpendapat, niat Nurdin membeli kewarganegaraan pemain-pemain asal Brasil hanya merupakan sebuah bentuk kepanikan dan bukti ketidakpercayaan diri.
''Tidak ada yang mematok target agar PSSI lolos ke putaran final Piala Dunia 2010, 2014 atau 2018. Apa yang membuat Nurdin tergesa-gesa ingin mencapainya? Membeli pemain Brasil hanya membuktikan bahwa dia tidak percaya terhadap kompetisi yang dibangunnya sendiri,'' tegas Aliandoe, yang juga eks pelatih timnas.
Tapi, jangan dulu menyalahkannya. Mari kita memahami kegelisahan Nurdin, sekaligus membuka ulang memori kusut kompetisi di Indonesia. Tahun 2006 ini, Liga Indonesia telah menyelesaikan umurnya yang ke-12. Tahun depan, liga memasuki musim ke-13.
Liga Indonesia merupakan sebuah ide unik. Di luncurkan 1994, liga ini menggabungkan dua kekuatan berbeda, amatir dan profesional (perserikatan dan galatama). Para petinggi sepak bola ketika itu tampaknya menyadari, dua dekade suram --yakni era 1980 dan 1990-an-- di mana nyaris tak ada prestasi, harus segera diakhiri.
Namun mereka tidak ingin mendongkrak prestasi dengan cara instan. Karena itulah, pilihan yang diambil adalah membenahi sistem kompetisi. Kompetisi perserikatan dan galatama yang semula digelar terpisah, disatukan, sehingga tak ada lagi dikotomi perserikatan dan galatama. Yang ada Liga Indonesia.
Pentas Dunia
Indonesia bertekad menuju pentas dunia. Misi besar itu diusung ketika liga dirilis 27 November 1994 di Jakarta. Dalam manual liga ketika itu, ditargetkan setidaknya pada Piala Dunia 2006, paling lambat 2010, nama Indonesia sudah masuk line up tim-tim kontestan putaran final Piala Dunia. Tetapi apakah yang terjadi?
Hingga Piala Dunia 2006 lewat dan pentas 2010 di ambang mata, prestasi itu tak kunjung datang. Liga Indonesia tetap masih penuh bopeng. PSSI bahkan masih terus asyik mengutak-atik aturan main dan format kompetisi.
Liga Indonesia sebenarnya berjalan mulus. Hanya sekali pada musim 1997/1998 kompetisi dihentikan di tengah jalan karena kerusuhan Mei 1998, yang meluluhlantakkan sebagian Indonesia. Mengapa liga yang mulus dan telah berjalan 12 tahun, tidak bisa menghasilkan pemain berkualitas?
Liga memang mulus. Tetapi, konsepnya penuh perubahan. Aturan mainnya seperti petak umpet, plin-plan, berganti-ganti alias tanpa konsistensi. Selama 12 kali penyelenggaraan liga, PSSI melakukan perubahan sistem kompetisi sebanyak 11 kali!
Itu artinya, hampir setiap tahun Liga Indonesia mengalami perubahan. Ganti pengelola, ganti aturan main, ganti format. Bahkan tak ganti pengelola pun, aturan main acap berubah-ubah. Klub-klub cuma bisa menunggu dalam kebingungan dan ketidakberdayaan.
Dibuka dengan sistem dua wilayah pada 1994/1995, diikuti oleh 34 klub, liga kemudian diciutkan menjadi 31 tim pada musim berikutnya.
Repotnya, perubahan jumlah peserta terus terjadi nyaris setiap musim (lihat tabel). Format kompetisi juga tak menentu. Format sering berganti: dua grup, tiga, lima, dan pernah hanya satu grup.
Persoalannya, visi dalam setiap perubahan sangat tidak jelas. PSSI tidak menjelaskan mengapa liga harus dengan peserta 30 klub, 28 klub, dibagi dua wilayah, lima wilayah, atau lainnya. Padahal seharusnya, visi itulah yang penting ketika dilakukan sebuah perubahan.
Contohnya pada Liga Indonesia V (1998/1999). Saat itu, PSSI membagi liga ke dalam lima grup, setiap grup hanya berisi enam tim. Akibatnya, setiap klub hanya bertanding 10 kali dalam satu musim. Bagaimana akan lahir pemain berkualitas jika dalam satu musim kompetisi --yang lamanya sekitar 11 bulan-- pemain hanya bertanding 10 kali?
Hingga musim inipun, klub-klub masih selalu cemas dan waswas menunggu pengumuman PSSI setiap kali menjelang bergulirnya liga: perubahan apalagi yang akan terjadi?(Gunarso-40)
sumber :
Mencari Seri Di Seoul
Ini merupakan pertandingan pertama dari dua pertarungan home and away, yang harus dilakukan kedua kesebelasan yang sama-sama mengincar gelar juara grup III ini. Pertandingan kedua dijadwalkan berlangsung 30 Juli nanti di Jakarta. Pemenang grup ini akan berhadapan dengan pemenang grup IV - yang akan diperebutkan oleh Hong Kong dan Jepang - guna memperebutkan satu dari dua tempat yang disediakan bagi Asia untuk bisa ikut dalam pertandingan babak final di Meksiko, tahun depan. Zona Asia seluruhnya terdiri dari empat grup.
Indonesia sudah mengikuti kejuaraan sepak bola dunia yang diselenggarakan empat tahun sekali inl sejak 1958. Tapi belum pernah bisa lolos hingga pertandingan antargrup. Baru kali ini, ketika PSSI dilatih Sinyo, pemain tahun enam puluhan, bayangan ke arah itu sedikit terbuka. Tim sepak bola Kor-Sel terbilang kuat di Asia. Sejak 10 tahun terakhir ini mereka lebih banyak mempecundangi PSSI di pelbagai turnamen internasional. Pada 1970, misalnya, di final Piala Kemerdekaan dan final Merdeka Games mereka berturut-turut mengalahkan PSSI, dengan angka 5-6 dan 1-2. Hanya sekali, pada kejuaraan Piala Kemerdekaan ketiga di Jakarta tahun 1972, PSSI bisa menumbangkan Korea 5-2, dan keluar sebagai juara.
Bagaimana persiapan PSSI PPD? Pelatih Sinyo Aliandoe, 45, mengatakan, ia sudah memiliki cara untuk menahan calon lawan itu. "Tim kita sudah seratus persen siap. Baik teknik, fisik, taktik, maupun mental," katanya. Di antaranya lewat penggenjotan latihan di Cibubur dan dengan mengadakan delapan kali pertandingan uji coba. Hasilnya: "Kita hanya kalah sekali (0-2), melawan klub Santos, Brazil," kata Sinyo, yang juga pernah berguru sebagai pelatih di negeri Pele itu.
"Sekarang, kita sudah mulai masuk minggu tenang. Porsi latihan mulai dikurangi, untuk memberi kesempatan anak-anak recovery kondisi: agar otot-otot mereka normal kembali, sebelum turun bertanding," kata ayah tiga anak itu lagi. Di tambah pelbagai perubahan yang sudah dilakukannya, di antaranya memasukkan beberapa pemain baru - seperti Didiek Darmadi (belakang) dan Noach Meriem (depan) - serta sedikit perombakan dalam cara bermain, Sinyo tampak optimistis bahwa timnya akan bisa mengganjal Korea Selatan.
Tim musuh ini, menurut pengamatan dia, termasuk tipe kesebelasan yang suka bermain menyerang dengan cepat lewat dua ujung tombaknya: Cho Min Kook (biasa mengenakan kostum nomor 14) dan Choi Soon Ho (nomor 9). Lewat kedua sayap inilah - yang dibantu antara lain oleh bola-bola yang disodorkan kapten yang menjadi playmaker tim, Park Chung Sun (nomor 10) serangan Korea bisa menggebu-gebu datangnya.
Untuk menghadapi ini, Sinyo mengubah taktik bertahan PSSI. Yakni dengan lebih memperkuat daerah pertahanan yang selama ini dijaga pemain belakang Marzuky dan Warta Kusuma. Kedua pemain ini akan dibantu Herry Kiswanto, gelandang bertahan, yang biasa ikut menyusun serangan. Pemain ini, dalam tugas baru yang diberikan Sinyo juga diminta menjadi pelapis terakhir baris pertahanan jika sedang diserang.
Herry, kapten kesebelasan yang berusia 28 tahun itu - bersama-sama Warta - juga diperintahkan pelatihnya untuk menjaga Cho Min Kook. Diakui Sinyo, tugas kapten ini memang tambah berat. "Ini satu-satunya taktik yang saya kira tepat untuk menangkis serangan Korea," kata pelatih asal Flores Timur, yang sudah lebih dari 15 tahun menekuni profesinya itu.
Sinyo mengaku sudah mempelajari semua permainan calon lawan itu lewat tiga rekaman video pertandingan tim Piala Dunia Korea Selatan yang terakhir, melawan Malaysia, Irak dan Brazil. Dua yang terakhir ini ketika berlangsung President Cup, bulan lalu, yang dimenangkan tim Piala Dunia Korea itu. Sinyo memastikan, dengan taktik baru tadi, serangan tajam lawan akan bisa dihambat. Setelah itu, barulah serangan balik dilakukan, di antaranya lewat rancangan Herry yang tetap pula berfungsi sebagai penyusun serangan.
Beratnya beban Herry inilah yang antara lain dipersoalkan bekas pemain nasional Ronny Pattinasarany. "Herry memang pemain serba bisa. Tapi menempatkan dia sebagai stopper betul-betul riskan," kata Ronny. Dia menganggap, apa yang diharapkan Sinyo dari kerja sama Herry dan Warta di barisan belakang tadi suatu hal yang "sangat sulit diterapkan secara kompak". Dikhawatirkan, karena batasan menjaga striker Korea juga tak begitu tegas, kedua pemain akan saling tunggu. "Kalau sudah begitu, beberapa detik saja sudah cukup untuk kebobolan satu gol," katanya lagi. Belum lagi tugas ganda itu juga akan menghabiskan stamina serta mengganggu konsentrasi Herry sebagai perancang serangan.
Herry Kiswanto ternyata tak begitu mempedulikan perbedaan pendapat antara kedua bekas pemain nasional itu. "Saya sering minta advis dari Bang Ronny, tapi di lapangan saya tunduk pada pelatih," kata ayah satu anak itu. Sinyo Juga tak mau berpanjang-panjang. "Saya sebenarnya hanya membuat sedikit perubahan di belakang. Meminta mereka lebih fleksibel," katanya.
Terus terang, pelatih yang bertubuh kekar ini mengatakan, dengan semua perbaikan yang dilakukan itu, sasarannya adalah "mencegah kebobolan". Sebab, dengan bermain di kandang sendiri, Korea sesungguhnya betul-betul di atas angin. "Harapan kita tak terlalu muluk. Bisa menahan mereka seri saja sudah cukup. "Setelah itu, baru nanti di Jakarta kita hajar mereka," ujar Sinyo penuh semangat.
Marah Sakti Laporan dari Biro Jakarta
sumber :
http://majalah.tempointeraktif.com/id/arsip/1985/07/20/OR/mbm.19850720.OR39278.id.html
Dasar Sepakbola Pemain LI Memprihatinkan
By Kunto widyatmoko, on 16-04-2009 14:58 |
Views : 604 |
Sinyo Aliandoe :
Jakarta – dasar sepakbola rata – rata pemain klub yang ambil bagian dalam kompetisi Liga Indonesia (LI) memprihatinkan. Padahal kompetisi LI berstandar nasional, ditayangkan televisi secara luas, dan berpeluang ditiru oleh pemain junior.
“Dalam soal kontrol bola, misalnya, masih banyak pemain yang posisi kakinya salah ketika mendapat umpan dari rekannya. Akibatnya, bola menjadi jauh dan mudah direbut lawan”, kata sinyo aliandoe (68) dalam wawancara khusus dengan SH di rumahnya di bilangan Cilandak, Jakarta Selatan, sabtu (11/4) lalu.
Itu baru dari segi kontrol bola, belum lagi dari segi passing (mengumpan) dan shooting (menembak). Sering kali pemain tidak tahu kapan dan bagaimana melakukan passing dan kapan serta bagaimana melakukan shooting. Padahal, antara passing dan shooting jelas sekali bedanya.
“Tendangan passing harus sampai pada sasaran yang dituju dan muda diterima oleh rekannya. Namun, praktiknya banyak pemain yang maksudnya ingin passing padahal dia melakukan shooting.
Akibatnya, rekan yang mestinya menerima umpan dengan enak justru setengah mati mengejar bola,” kata sinyo, mantan pelatih nasional PSSI yang mengantarkan Indonesia menjadi Juara subgrup 3 B Zona Asia Kualifikasi Piala Dunia 1986.
ia tidak menyalahkan pelatih klub mereka di LI sebab pelatih tidak lagi mengajarkan dasar sepakbola, melainkan langsung ketahap taktik dan strategi pertandingan. Yang salah adalah pelatih pertama mereka yang mengejarkan dasar sepakbola secara serampangan.
“Saat ini banyak pelatih yang mengikuti kursus pelatih. Hanya untuk mendapatkan sertifikat kepelatihan agar segera bisa melatih, bukan untuk menguasai ilmu sepakbolnya. Ironisnya, di luar sana banyak pelatih klub kecil atau klub amatir yang tidak punya sertifikat, tapi melatih dasar sepakbola dengan benar,” kata sinyo yang sempat juga melatih klub Tunas Inti (Galatama), Arema malang, dan sebuah klub di Aceh.
Mantan pemain Nasional PSSI di tahun 60-an yang mengantarkan Indonesia menjadi juara Piala Aga Khan, Piala raja, dan Merdeka Games itu menawarkan dirinya untuk mengadakan kepelatihan bagi pelatih pemula di daerah – daerah selama dua minggu, termasuk mengajarkan latihan fisik yang cocok untuk pemain sepakbola. Sinyo adalah lulusan SGPD (Sekolah Guru Pendidikan Djasmani) Denpasar sebelum bergabung dengan Klub Indonesia Muda (IM Surabaya), kemudian ke IM Jakarta, yang membuatnya dipanggil memperkuat Persija dan Tim Nasional PSSI pada tahun 1964 hingga tahun 1970. Sinyo pensiun sebagai pemain karena cedera dihantam seorang rekannya dalam seleksi tim nasional.
“Soal biaya pelatihan ini bisa diatur dengan pengda PSSI setempat, dengan sponsor atau dengan Kantor Menneggpora. Saya sudah tua. Saya ingin menularkan sedikit ilmu saya pada pelatih pemula sebelum saya kembali kepada Yang Maha Kuasa,” kata Sinyo yang tetap rajin menjaga kondisi fisiknya dengan berjalan kaki setiap pagi di sekitar tempat tinggalnya.(isyanto)
Media : Harian Sinar Harapan
Tanggal : 14 April 2009
sumber : http://www1.kemenegpora.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=2040
Pengakuan Seorang Pemain Banyak yang Mengisap Shabu
Dugaan keterlibatan sejumlah pemain sepak bola dengan narkotika dan obat-obatan berbahaya (narkoba) ternyata tidak hanya terjadi sekarang ini. Dalam putaran 10 Besar Liga Indonesia V yang diadakan Maret 1999, lebih dari separuh pemain bahkan menggunakan narkotika jenis shabu untuk meningkatkan stamina mereka dalam pertandingan. Demikian pengakuan seorang pemain yang terlibat dalam putaran 10 besar kepada Kompas, Rabu (25/4), di Jakarta. "Mengisap shabu itu sudah biasa di sebagian teman saat itu. Banyak sekali yang menggunakan, mungkin mencapai 60 persennya," katanya. Menurut dia, sebagian pemain memang sengaja mengisap shabu sebagai doping menjelang pertandingan. Bahkan di kalangan pemain sering terjadi taruhan.
Bila dua tim bertanding, para pemain akan menilai jenis shabu milik siapa yang lebih baik. "Bila tim A menang, berarti shabu yang dipakai para pemain tim A lebih bagus daripada yang dipakai para pemain pemain B," katanya.
Dalam putaran final 10 Besar Liga Indonesia V itu, penyebaran penggunaan shabu begitu luas karena para pemain dari 10 tim seluruhnya menginap di hotel yang sama. "Biasanya memakainya berkelompok-kelompok, sesuai dengan klub masing-masing. Tetapi, ada juga kelompok yang terdiri dari beberapa klub. Biasa, bila satu pemain ada teman dekatnya di klub lain lalu diajak," ujar seorang pemain itu.
Menurut dia, rekan-rekan "pemakai" itu sudah pandai meracik obat terlarang itu. "Pokoknya mahir sekali. Merakit tabungnya, apinya juga dibikin kecil, dan cara mengisapnya juga tidak canggung," katanya.
Para pemain itu biasanya mengisap shabu di siang hari pada jam makan siang atau waktu tidur siang. Saat bertanding sore atau malam hari, pengaruh psikotropika-membuat seseorang hiperaktif sebagai akibat shabu-sudah mempengaruhi badan.
"Kalau main sore, mereka biasanya tidak makan siang di ruang makan. Alasannya mau tidur saja. Setelah itu mereka beramai-ramai masuk kamar... Sementara kalau bertanding malam, setelah makan siang mereka masuk kamar dengan alasan mau tidur," ujarnya.
Saat ditanya mengapa tidak ada dokter atau pelatih yang curiga atau memergoki mereka, pemain itu menjawab karena di putaran 10 Besar konsentrasi pelatih lebih ditekankan pada strategi menghadapi lawan dibandingkan memperhatikan pemain satu per satu.
Para pemain yang memakai shabu juga memilih kamar yang jauh dari kamar pelatihnya. Jika akan diperiksa dokter, mereka umumnya menolak dengan alasan mau tidur karena mengantuk.
"Alasannya, paling mengatakan nanti saja setelah bertanding. Bahkan ada kelompok yang meminjam kamar temannya dari klub lain untuk mengisap shabu," katanya.
Berbentuk pil
Mantan pemain dan pelatih nasional, Sinyo Aliandoe, juga mengakui sudah ada satu sampai dua pemain yang biasa menggunakan pil perangsang saat dia menjadi pelatih tim nasional ataupun sejumlah klub Galatama. "Tetapi kalau benar sampai lebih dari 50 persen pemain dari tim 10 Besar, itu sudah sulit mengatasinya," katanya.
"Selama saya jadi pelatih memang saya ketahui satu atau dua pemain yang menggunakan. Meski belum pernah melihat dengan mata dan kepala sendiri, saya tahu dari pengamatan dan informasi kanan-kiri," kata Sinyo Aliandoe.
Dikatakan, obat yang diminum berbentuk pil.
"Apa istilahnya saat itu saya lupa," katanya. Menurut Sinyo Aliandoe, pemain yang memakai narkotika atau doping adalah pemain yang tidak disiplin. Pemain yang disiplin dan memiliki sikap profesional sebagai pesepak bola, kecil kemungkinan menjadi pecandu.
"Mereka suka begadang, makan minum tidak dijaga sehingga sebenarnya kondisi mereka tidak fit untuk bermain bagus. Untuk mendongkrak permainannya itulah si pemain memakai obat," katanya.
Sementara itu, Ketua Komisi Organisasi PSSI Tondo Widodo mengingatkan, mulai sekarang PSSI sewaktu-waktu akan melakukan tes urine dan cara lainnya untuk menjaring pemain yang diduga memakai doping dan narkoba. PSSI kini telah membentuk Tim Penanggulangan Doping dan Narkoba yang diketuai Adang Ruchiatna.
Para pemain yang terjaring menggunakan obat terlarang itu tambah Tondo, diancam dengan hukuman berat sesuai aturan FIFA, yaitu dilarang bermain hingga dua tahun. Tidak itu saja, si pemain juga akan terus berurusan dengan PSSI.
"Kita akan cecar terus si pemain sehingga kita dapat membongkar jaringan obat terlarang yang melibatkan pemain itu. Bukan tidak mungkin akan menyangkut ke pemain lain," ujarnya. (yns)
sumber : http://psmsmedan.multiply.com/reviews/item/61
Hormati Polosin-Sinyo Aliandoe
Ketika diperkuat Ferril, tim Merah Putih memang sempat merengkuh juara SEA Games Manila 1991. Gelar tersebut sejauh ini masih berstatus terakhir bagi Indonesia. Sebab, sejak itu negara ini tidak lagi merasakan manisnya gelar juara even tersebut.
Sekilas pencapaian timnas dan Ferril kala itu memang cukup heroik. Namun, pencapaian tersebut bukan hal yang mudah bagi para pemainnya. Khusus bagi Ferril, tak jarang benturan dan ketegangan harus mengiringi perjalanannya membawa nama Indonesia ke tangga juara.
Dia mengaku ketegangan tersebut sempat terjadi ketika Indonesia menghadapi partai semifinal melawan Singapura. ''Hingga 2 x 45 menit, skor masih imbang 0-0,'' ungkapnya.
Ketika memasuki masa perpanjangan waktu, dia menyatakan bahwa pelatih Indonesia Anatoly Polosin meminta Ferril agar memimpin tim bermain lebih lambat. Tapi, sebelum masuk lapangan lagi, Ferril lebih dulu bertanya kepada teman-temannya tentang stamina mereka. ''Mereka bilang, masih kuat Kapt! Karena itu, saya ajak teman-teman kembali bermain cepat,'' ujarnya.
Dalam masa perpanjangan waktu tersebut, Indonesia memang tidak berhasil menciptakan gol. Namun, Ferril dkk terus mengurung pertahanan Singapura.
Dia mengungkapkan, strategi tersebut membuat stamina para pemain negeri berlogo kepala Singa itu kedodoran. ''Dan ketika adu tendangan penalti, mereka jeblok karena staminanya habis. Sementara kami masih tetap bisa menendang terarah,'' katanya.
Dari kenangan tersebut, Ferril lantas mengambil benang merah bahwa seorang kapten memang perlu mengambil keputusan yang tepat di lapangan, meski terkadang instruksi pelatih berseberangan. ''Saya rasa, seorang pemain lebih paham kondisi di lapangan. Jadi, jika memang ada peluang yang bisa menguntungkan, kenapa tidak diambil?'' tegasnya.
Seusai pertandingan, kata Ferril, Polosin berdiskusi dengan dirinya. ''Akhirnya dia (Polosin) memaklumi keputusan yang saya ambil itu. Padahal, sebelumnya dia sempat marah-marah,'' ujarnya. Hal itu pula yang membuat Ferril tetap hormat terhadap sosok Polosin.
Terlepas dari itu, dia tetap mengidolakan Sinyo Aliandoe sebagai pelatih. Sebab, berkat tangan dingin Sinyo, Ferril yang ketika di Niac Mitra dan Persebaya berposisi gelandang bisa menjelma sebagai libero andal. ''Dia sangat pandai, begitu mengerti talenta tersembuyi,'' sebutnya. (uan/diq)
sumber : http://www.jawapos.co.id/halaman/index.php?act=detail&nid=59618
Benny Dolo, Sinyo Aliandoe, dan Bola Itu Bundar
Yon Moeis
Wartawan Tempo
Darah di sekujur tubuh Benny Dolo terlihat seperti mendidih. Dia tampak marah dan merasa tak nyaman dengan berbagai pertanyaan seputar nasib tim nasional di arena AFF Suzuki Cup 2008. Di lain tempat, dia tak tahan menerima berbagai tekanan dan menggambarkan semua tekanan itu bak tsunami.
Di tempat lain, Benny–arsitek tim nasional yang dikenal bertensi tinggi–mencoba berlindung dalam ungkapan “bola itu bundar” ketika muncul pertanyaan apa yang hendak dia lakukan ketika banyak orang mencemaskan nasib tim nasional.
Saya tak ingin terjebak mereka-reka suasana hatinya. Yang pasti, Bendol–sebutan yang bisa mengalahkan namanya itu–sedang dalam tekanan. Sepertinya dia berada bukan dalam waktu dan tempat yang tepat. Dia berada ketika kecemasan ditujukan pada dirinya dan harapan diletakkan di pundaknya. Dan, Benny–saya tak malu menyebutnya sebagai arsitek–tak mampu menjawab itu semua.
Ketika ingin melupakan sejenak Benny, tiba-tiba saya teringat Sinyo Aliandoe. Jumat lalu, saya menghubungi Om Sinyo–begitu saya memanggil Sinyo–dan kami memang sudah lama tak bertemu. Dari suaranya yang dalam itu saya mendengar Sinyo merasa senang. Sinyo mengabarkan bahwa dia dalam keadaan sehat.
Sinyo–lahir di Larantuka, Flores Timur, 1 Juli 1940–adalah pelatih bertangan dingin. Dia adalah pelatih hebat. Dia lebih mengutamakan hitungan-hitungan teknis di lapangan ketimbang menyandarkan diri dalam ungkapan “bola itu bundar”. Dia menghitung benar setiap jengkal lari pemain dalam proses mencetak gol. Sinyo dikenal memiliki kemampuan mengubah pola permainan pasukannya seketika hanya dengan memanfaatkan pergantian pemain.
Ini dilakukan Sinyo ketika menghentikan langkah Thailand di babak kualifikasi Pra-Piala Dunia Meksiko 1986 setelah menang dalam dua kali pertemuan. Di Stadion Utama Senayan (kini Gelora Bung Karno), 15 Maret 1985, Dede Sulaiman mencetak satu gol kemenangan. Empat belas hari kemudian, di Stadion Nasional Bangkok, giliran Herry Kiswanto mencetak gol kemenangan Indonesia.
Sinyo sangat pandai meramu pasukannya sebagai serdadu yang menakutkan. Hermansyah, Ristomoyo, Didik Darmadi, Warta Kusuma, Elly Idris, Bambang Nurdiansyah, Rully Nere, Marzuki Nyakmad, Noah Meriem, Zulkarnain Lubis, Herry Kiswanto, Ferrel Raymond Hattu, dan Dede Sulaiman dia jadikan sebagai kumpulan pemusik. Bak sebuah orkestra, mereka memainkan musik berirama ketika Sinyo–bersama asisten Bertje Matulapelwa dan Salmon Nasution–tampil sebagai dirigen.
“Saya punya pemain bagus, tapi tak ada artinya ketika saya tak mampu membuat suasana nyaman bagi mereka,” kata Sinyo.
Sinyo adalah pelatih tanpa batas. Soal disiplin, dia bisa lebih keras dibanding Benny, tapi dia tidak menekan dan pemain tidak merasa tertekan. Teori-teorinya mudah dicerna. Dia membuat kekuatan-kekuatan di setiap lini dan mempertemukan kekuatan-kekuatan itu dalam satu permainan. Sinyo tidak arogan. Dia mau mendengar dan menerima kritik dengan tangan terbuka.
Kami pernah ngobrol di dalam Datsun tuanya sepanjang perjalanan dari Cibubur–markas tim nasional Pra-Piala Dunia 1985–menuju kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sinyo tidak merasa risi ketika saya ikut bicara seputar tim nasional.
Langkah tim nasional akhirnya memang terhenti. Mimpi tampil di Piala Dunia Meksiko 1986 seketika buyar ketika Herry Kiswanto dan kawan-kawan harus mengakui kehebatan Korea Selatan. Tapi gelar juara Subgrup III Asia yang diraih tim nasional begitu fenomenal dan tidak bisa kita lupakan begitu saja.
Menyebut nama Sinyo, saya merasa berdosa jika tidak mengingat Bertje. Dia adalah pelatih bertangan dingin yang membawa tim nasional menembus empat besar Asia di Asian Games Seoul 1986. Meski di semifinal kita dihancurkan Korea Selatan 0-5, sukses ini merupakan lanjutan sukses yang diraih Sinyo.
Sang Pendeta–Bertje menerima julukan ini karena berpenampilan tenang dan tidak pernah marah–melanjutkan prestasi tim nasional dengan perolehan medali emas SEA Games Jakarta 1987 sebagai emas pertama di pesta olahraga Asia Tenggara. Prestasi ini kemudian dilanjutkan Anatoly Polosin, pelatih berdarah Rusia, yang mengantar tim nasional meraih emas SEA Games Manila 1991.
Sinyo dan Bertje (meninggal pada 9 Juli 2002 di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada usia 59 tahun) adalah dua pelatih yang tak boleh hilang dalam catatan sejarah sepak bola Indonesia. Mereka pantas kita kenang ketika kecemasan dan harapan kini berada di pundak Benny.
(Koran Tempo, Minggu, 21 Desember 2008, Ilustrasi Gaus Surahman)