Jumat, 03 Juli 2009

Tatkala Kata Kehilangan Makna



Ditulis oleh Choki Sihotang (Penulis adalah pemerhati sepakbola nasional)

Siapa yang ingin menjadi pemimpin, baiklah dia mafhum bahwa kekuasaan bukanlah sesuatu yang permanen. Kepemimpinan berarti bhakti yang harus dipertanggungjawabkan, dimana orang yang dipimpin merupakan hakim yang sesungguhnya. Jadi, seorang despot, cepat atawa lambat, akan terjungkal oleh waktu.

Kita ingat Mohammad Reza Pahlevi. 26 Oktober 1976, setelah memerintah selama 26 tahun di atas Takhta Merak, pemimpin berjuluk Syah ini – dengan suatu upacara gemerlapan, tentu saja – memahkotai dirinya sendiri dan istrinya menjadi raja dan ratu di atas singgasana Persia yang telah berusia 2.500 tahun.

Dalam satu wawancara dengan wartawan US News and World Report pada bulan Juni 1978, Syah berkata,”Tak ada orang yang dapat menggulingkan aku. Aku didukung oleh 70.000 pasukan. Semuanya pekerja dan kebanyakan dari rakyat”.

Waktu terus bergerak, berpacu. Hanya berselang enam bulan, Syah Reza digulingkan ulama gaek yang selama 15 tahun hidup dalam pengasingan di Prancis, Ayatullah Khomeini. Khomeini, - demikianlah sejarah mencatat - kemudian mendirikan Republik Islam Iran . Khomeini tak didukung oleh berlaksa-laksa tentara bersenjata pleno, seperti halnya Syah, melainkan sebuah elan membara : pengabdian kepada Islam.

PENGABDIAN. Sebuah kata yang kehilangan makna kini. Tatkala pengabdian kehilangan makna, kita tak lagi punya pedoman guna melakukan sesuatu sebagai wujud tanggungjawab. Pengabdian, dengan kata lain, kita lakoni secara serampangan. Itulah sebabnya, kita tak perlu heran jika ketidakpastian menjadi identitas kita di sini, di Indonesia ini. Kasus demi kasus tak tertuntaskan, menggantung. Lembaga peradilan sebagai benteng terakhir kepastian hukum, mandul. Hukum hanya milik orang-orang berduit. Bagi yang tak punya duit, terus diinjak dan kian ternafikan.

Di bidang olahraga, khususnya sepabola, sami mawon. Sebagai contoh, seorang teman pernah berkata kepada saya, pada sebuah malam yang basah di Jakarta : Menurut bung, kapan kira-kira Timnas Sepakbola kita berlaga di pentas dunia? Saya tak punya jawaban yang bagus untuk pertanyaannya. Makanya saya lebih memilih diam seraya menghela napas panjang. Karena diam, menurut saya, lebih arif daripada seribu kata sonder kepastian.

Boro-boro Piala Dunia, di pentas Asia Tenggara saja, prestasi terbaik kita tertoreh di SEA Games Manila , Filipina, 17 tahun lampau. Saat itu, Maman Suryaman dan kawan-kawan dengan langkah tegap menerima kalungan medali emas. Indonesia Raya berkumandang, menggelegar.

Prestasi terbaik di Asia , yakni Asian Games 1986. Ricky Yacobi dkk menempatkan Indonesia bertenger di peringkat empat. Prestasi cemerlang lain, timnas besutan Sinyo Aliandoe membawa Herry Kiswanto dkk menjuarai Sub-Grup IIIB Pra Piala Dunia 1986. Setelah itu, prestasi timnas terjun bebas.

Gelontoran dana yang melimpah tak jua mampu mengembalikan kedigdayaan Indonesia di level Asia . Pelatih-pelatih asing diimpor. Hasilnya , Indonesia tetap saja jadi bulan-bulanan. “ Dulu , Thailand , Singapura , Vietnam , dan Malaysia bukan lawan sepadan kita. Kita terlalu kuat bagi mereka. Di kawasan Asia Indonesia begitu disegani,” kata Sinyo Aliandoe kepada saya, dalam sebuah pembicaraan santai di kawasan Senayan, Jakarta .

Kenapa itu bisa terjadi? Mungkin kita lupa wejangan Bung Karno: Jangan sekali-sekali melupakan sejarah. Sejarah menjadi semacam acuan buat kita untuk melangkah ke depan. Artinya, yang jelek diperbaiki. Yang bagus dipertahankan dan alangkah bahagianya kalau itu dapat ditingkatkan.

Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) selaku badan otorita tertinggi sepakbola di Tanah Air – ya ampun – juga tak maksimal dan kalau ditilik dari prestasi timnas malah boleh dibilang mengalami kemunduran. Bagaimana tidak. Sejak berdiri 19 April 1930, baru kali inilah Ketua Umum PSSI dipenjara. Nurdin Halid, politisi Partai Golongan Karya itu terpaksa mendekam di balik jeruji besi lantaran korupsi.

Saya menghormati pernyataan Nurdin Halid yang mengatakan bahwa ini tak ada hubungannya dengan sepakbola. Tapi, faktanya, eksistensinya di dalam bui berdampak kepada citra PSSI.

Tak sedikit yang mendesak agar Nurdin Halid legowo melepaskan jabatannya. Putra Makassar itu dinilai gagal menjalankan tugas. Bagi saya, persoalannya bukan diganti atau tidak. Sejak reformasi menggelinding hampir satu dasawarsa lalu, Indonesia sudah dipimpin empat presiden. Namun, situasi dan kondisi dihampir semua lini tak berubah ke arah yang lebih signifikan.

Jika dipikir-pikir, di Indonesia ini banyak orang yang pintar. Dari profesor, jenderal, sampai paranormal berderet bak antrean kendaraan bermotor di SPBU. Toh tak membawa efek positif. Tak ada kerjasama. Tak ada unity. Tak ada kerendah hatian. Saling jegal. Saling kritik. Saling menjatuhkan. Semua ingin menjadi pahlawan.

Ada kata-kata sarkastis yang dikatakan artoo-detoo yang tak rancak untuk didengar : Berbahagialah orang-orang yang mengkritik bukan untuk jadi pahlawan. Karena jadi pahlawan adalah naik takhta. Dan naik takhta cenderung korup.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) Departemen Pendidikan Nasional, pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberanian dan pengorbanannya dalam membela kebenaran. Persoalannya sekarang, masih adakah pemimpin atau pahlawan saat ini benar-benar membela kebenaran? Saya skeptis. Soalnya, kalimat sindiran seperti maju tak gentar membela yang bayarlah yang acapkali kita dengar. Dan kalau mau jujur memang demikianlah adanya. Kita butuh seorang pemimpin berjiwa pahlawan yang punya semangat pengabdian yang tulus.


sumber :

http://bolanova.com/2008/01/11/tatkala-kata-kehilangan-makna/


Tidak ada komentar:

Posting Komentar