MANTAN Sekretaris Militer Presiden pada 1979 dan mantan Ketua Umum PSSI Marsekal Muda TNI-AU (Purn) Kardono, telah meninggalkan kita untuk selama-lamanya. Sosok pekerja yang di usia senjanya penuh dengan aktivitas sosial itu, meninggal dunia di Jakarta, Minggu (11/5) pukul 03.30 pada usia 74 tahun.
Kardono yang kelahiran Godean, Yogyakarta, 12 Desember 1929, dimakamkan di TMP Nasional Kalibata, kemarin siang dengan inspektur upacara Wakasau Marsdya TNI Wartoyo setelah diberangkatkan dari rumah duka di Jalan Cipinang Cempedak II/56, Jakarta Timur dengan inspektur upacara Aspers Kasau Marsda TNI Bambang Risharyanto dengan upacara militer, pukul 12.30.
Di antara para pelayat, tampak mantan Kapolri Jenderal Pol (Purn) Awaloedin Djamin serta kalangan militer, dua orang putri mantan Presiden Soeharto, Mamiek dan Titik Prabowo serta sejumlah artis.
Kardono yang pernah memimpin PSSI selama delapan tahun pada era 1983-1991, meninggal setelah dirawat di RS Pondok Indah, Jakarta Selatan sejak Rabu lalu karena menderita kanker. Menurut mantan Sekum PSSI Nugraha Besoes, almarhum menderita kelenjar getah bening sejak dua bulan lalu.
Almarhum meninggalkan seorang istri, RA Rochayatun, 67, beserta lima anak (dua perempuan) serta 11 orang cucu. Kelima anaknya adalah Dewi Rudjiati, 46; Arman Suyadi, 44; Sujono, 42; Guntur Pawoko, 39; dan Woro Indriati, 37.
Kardono sudah sering menjalani pemeriksaan kesehatan di National University Hospital, Singapura. Dia merupakan purnawirawan TNI AU dengan pangkat terakhir Marsekal Madya, pernah menjabat sebagai Dirjen Perhubungan Udara.
Di kancah olahraga (sepakbola), Kardono muncul ke tampuk pimpinan PSSI ketika sepakbola Indonesia selalu kalah dari tim luar negeri dan kepemimpinan PSSI mengalami krisis. Kardono yang kemudian namanya jadi kesohor setelah "bergulat" dengan sepakbola, muncul membawa harapan, terpilih sebagai Ketua Umum PSSI lewat Kongres Luar Biasa pada November 1983, mengalahkan banyak saingan, di antaranya pengusaha Probosutedjo yang memiliki klub Mertju Buana.
Naiknya Kardono yang merupakan pembina Klub Angkasa, ketika itu sudah diatur oleh panitia kongres. Sebelum utusan perserikatan dari berbagai daerah datang ke kongres, Pengurus Harian PSSI Supajo Pontjowinoto mengirimkan telegram yang isinya hanya Kardono yang direstui oleh pimpinan nasional untuk jabatan Ketua Umum PSSI.
***
SEPERTI dikutip dari buku "Apa dan Siapa", kongres pun berjalan cukup tegang, bahkan Solichin GP beserta sejumlah peserta dari Komda PSSI Jabar meninggalkan sidang ketika berlangsung pemilihan ketua umum. Tetapi ganjalan kongres itu tidak berlarut-larut, dan penggemar sepakbola menaruh harapan besar kepada Kardono karena tokoh ini dekat dengan pimpinan nasional, sebab jabatannya ketika itu.
Dibawah kendalinya, PSSI sempat beberapa kali merebut prestasi membanggakan. Diantaranya ketika Timnas berada dalam asuhan Bertje Matulapelwa, mampu menyodok keempat besar Asian Games 1986. Timnas PSSI mampu merebut medali emas di SEA Games 1987 dan 1991. Saat menjuarai SEA Games 1987 Timnas diasuh Bertje Matulapelwa, sedangkan pada tahun 1991 dilatih oleh Anatoly Polosin dan Urin. Di kejuaraan junior Asia, Timnas PSSI pernah menjadi juara lima kali berturut-turut sejak 1984 hingga 1988.
Pada 1985, Timnas PSSI gagal meraih tiket ke Piala Dunia 1986 di Meksiko, hanya menjadi juara sub grup 3-B Asia. Pada penentuan juara grup, PSSI disisihkan Korea Selatan. Pelatih Timnas PSSI Pra Piala Dunia ketika itu, Sinyo Aliandoe menjadi bulan-bulanan kecaman masyarakat. Tetapi Kardono justru memuji Aliandoe. "Aliandoe punya prinsip dan pendirian yang tegas. Saya menghargai sikap itu," kata Kardono yang menyebut kegagalan itu bukan kesalahan pelatih.
Separuh masa jabatan Kardono di PSSI disibukkan oleh masalah suap. Ia mengakui, sulit membawa kasus suap ke pengadilan karena belum ada bukti kuat untuk bisa membawa kasus itu ke pengadilan seperti diungkapkannya kepada Komisi IX DPR, Mei 1985.
***
EMPAT baris kata-kata bijak di atas, adalah tuntunan hidup yang dihayati sepenuhnya oleh Kardono, "wewarah" yang diperolehnya dari almarhum mertua dan ayah ibunya, yang kini diwariskan kepada para penerusnya.
Wewarah (nasehat) orang tua itu, dituangkannya sebagai kata-kata pembuka dalam buku "Migunani" (hidup ada arti) yang ditulis oleh Kardono sendiri pada Mei 2001. Buku yang hanya berisikan 23 halaman dan banyak dihiasi foto-foto kegiatan pengabdiannya itu lebih menyuguhkan filosofi tentang kehidupan dan betapa sakralnya arti agama.
Di antara tuturnya, adalah hidup harus berguna, bermanfaat hanya dengan usaha atau bekerja. Bekerja menjadi keharusan, kewajiban hidup. Hidup adalah bekerja dan bekerja adalah untuk hidup. Bukan diartikan sebagai hidup untuk makan, sekalipun makan untuk bisa hidup. "Amatlah menyedihkan, bilamana orang tidak mengetahui dan masih tidak tahu tentang apa yang dikehendaki, atau apa yang menjadi kemauannya."
Kardono memiliki pembawaan yang tenang, dikenal sebagai pejabat yang hidup sederhana. Ayahnya hanya seorang petani kecil di Desa Godean, Yogyakarta, dan Kardono kecil menghabiskan sekolahnya di Yogya hingga tamat SMA. Kemudian melanjutkan di Sekolah Tinggi Teknik Bagian Geodesi di Bandung, 1951.
Hingga akhir hayatnya, Kardono aktif dalam 16 yayasan, meliputi bidang-bidang pendidikan, keluarga, sepakbola, masjid, makam, sosial, yatim piatu, beasiswa, rumah sakit dan lingkungan hidup. Ia pernah membantu penghijauan dengan menanam lebih dari 33.000 pohon di Sulteng, Jabar, DKI, Jateng dan Jatim. Ikut memberikan bantuan modal kepada lebih dari 400.000 KK pedagang kecil dengan bunga rendah di DIY, serta bantuan beasiswa sebanyak 3.067 pelajar SD, SMP, dan SMA di DIY.
"Berkarya mengurus yayasan inilah menjadi kegiatan sehari-hari penulis untuk mengisi sisa-sisa hidup pada usia lansia," sebut Kardono sendiri.
Diantara untaian petuah yang ditinggalkannya melalui bukunya itu, ada pula kalimat yang bisa diambil makna dan manfaatnya. "Mereka yang berhasil ternyata lebih banyak tergantung pada cara dan banyaknya bakat yang ada padanya untuk dimanfaatkan." Dan, "Hanya dengan pertolongan Tuhan segala sesuatu akan dapat berhasil."
Selamat jalan Kardono, Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun.
(taufiq rasjid)
Sumber: http://203.130.242.190//artikel/12685.shtml
Senin, 20 Juli 2009
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar