Kamis, 02 Juli 2009

Benny Dolo, Sinyo Aliandoe, dan Bola Itu Bundar


By yonmoeis

Yon Moeis
Wartawan Tempo

sinyoaliandu

Darah di sekujur tubuh Benny Dolo terlihat seperti mendidih. Dia tampak marah dan merasa tak nyaman dengan berbagai pertanyaan seputar nasib tim nasional di arena AFF Suzuki Cup 2008. Di lain tempat, dia tak tahan menerima berbagai tekanan dan menggambarkan semua tekanan itu bak tsunami.

Di tempat lain, Benny–arsitek tim nasional yang dikenal bertensi tinggi–mencoba berlindung dalam ungkapan “bola itu bundar” ketika muncul pertanyaan apa yang hendak dia lakukan ketika banyak orang mencemaskan nasib tim nasional.

Saya tak ingin terjebak mereka-reka suasana hatinya. Yang pasti, Bendol–sebutan yang bisa mengalahkan namanya itu–sedang dalam tekanan. Sepertinya dia berada bukan dalam waktu dan tempat yang tepat. Dia berada ketika kecemasan ditujukan pada dirinya dan harapan diletakkan di pundaknya. Dan, Benny–saya tak malu menyebutnya sebagai arsitek–tak mampu menjawab itu semua.

Ketika ingin melupakan sejenak Benny, tiba-tiba saya teringat Sinyo Aliandoe. Jumat lalu, saya menghubungi Om Sinyo–begitu saya memanggil Sinyo–dan kami memang sudah lama tak bertemu. Dari suaranya yang dalam itu saya mendengar Sinyo merasa senang. Sinyo mengabarkan bahwa dia dalam keadaan sehat.

Sinyo–lahir di Larantuka, Flores Timur, 1 Juli 1940–adalah pelatih bertangan dingin. Dia adalah pelatih hebat. Dia lebih mengutamakan hitungan-hitungan teknis di lapangan ketimbang menyandarkan diri dalam ungkapan “bola itu bundar”. Dia menghitung benar setiap jengkal lari pemain dalam proses mencetak gol. Sinyo dikenal memiliki kemampuan mengubah pola permainan pasukannya seketika hanya dengan memanfaatkan pergantian pemain.

Ini dilakukan Sinyo ketika menghentikan langkah Thailand di babak kualifikasi Pra-Piala Dunia Meksiko 1986 setelah menang dalam dua kali pertemuan. Di Stadion Utama Senayan (kini Gelora Bung Karno), 15 Maret 1985, Dede Sulaiman mencetak satu gol kemenangan. Empat belas hari kemudian, di Stadion Nasional Bangkok, giliran Herry Kiswanto mencetak gol kemenangan Indonesia.

Sinyo sangat pandai meramu pasukannya sebagai serdadu yang menakutkan. Hermansyah, Ristomoyo, Didik Darmadi, Warta Kusuma, Elly Idris, Bambang Nurdiansyah, Rully Nere, Marzuki Nyakmad, Noah Meriem, Zulkarnain Lubis, Herry Kiswanto, Ferrel Raymond Hattu, dan Dede Sulaiman dia jadikan sebagai kumpulan pemusik. Bak sebuah orkestra, mereka memainkan musik berirama ketika Sinyo–bersama asisten Bertje Matulapelwa dan Salmon Nasution–tampil sebagai dirigen.

“Saya punya pemain bagus, tapi tak ada artinya ketika saya tak mampu membuat suasana nyaman bagi mereka,” kata Sinyo.

Sinyo adalah pelatih tanpa batas. Soal disiplin, dia bisa lebih keras dibanding Benny, tapi dia tidak menekan dan pemain tidak merasa tertekan. Teori-teorinya mudah dicerna. Dia membuat kekuatan-kekuatan di setiap lini dan mempertemukan kekuatan-kekuatan itu dalam satu permainan. Sinyo tidak arogan. Dia mau mendengar dan menerima kritik dengan tangan terbuka.

Kami pernah ngobrol di dalam Datsun tuanya sepanjang perjalanan dari Cibubur–markas tim nasional Pra-Piala Dunia 1985–menuju kawasan Kuningan, Jakarta Selatan. Sinyo tidak merasa risi ketika saya ikut bicara seputar tim nasional.

Langkah tim nasional akhirnya memang terhenti. Mimpi tampil di Piala Dunia Meksiko 1986 seketika buyar ketika Herry Kiswanto dan kawan-kawan harus mengakui kehebatan Korea Selatan. Tapi gelar juara Subgrup III Asia yang diraih tim nasional begitu fenomenal dan tidak bisa kita lupakan begitu saja.

Menyebut nama Sinyo, saya merasa berdosa jika tidak mengingat Bertje. Dia adalah pelatih bertangan dingin yang membawa tim nasional menembus empat besar Asia di Asian Games Seoul 1986. Meski di semifinal kita dihancurkan Korea Selatan 0-5, sukses ini merupakan lanjutan sukses yang diraih Sinyo.

Sang Pendeta–Bertje menerima julukan ini karena berpenampilan tenang dan tidak pernah marah–melanjutkan prestasi tim nasional dengan perolehan medali emas SEA Games Jakarta 1987 sebagai emas pertama di pesta olahraga Asia Tenggara. Prestasi ini kemudian dilanjutkan Anatoly Polosin, pelatih berdarah Rusia, yang mengantar tim nasional meraih emas SEA Games Manila 1991.

Sinyo dan Bertje (meninggal pada 9 Juli 2002 di Kendari, Sulawesi Tenggara, pada usia 59 tahun) adalah dua pelatih yang tak boleh hilang dalam catatan sejarah sepak bola Indonesia. Mereka pantas kita kenang ketika kecemasan dan harapan kini berada di pundak Benny.

(Koran Tempo, Minggu, 21 Desember 2008, Ilustrasi Gaus Surahman)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar